Minggu, 31 Juli 2016

Menemani Anak : JANGAN HANYA MENGEJAR "KULIT"-NYA SAJA



Sekitar sebulan yang lalu, saya (seperti biasa) sedang mewawancarai para pelamar kerja untuk mengisi posisi jabatan yang kosong di sebuah perusahaan. Dari sekian banyak pelamar, ada seorang pelamar yang menarik perhatian saya.

Mengapa ?

Karena selain memenuhi syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi, pelamar ini menuliskan di Daftar Riwayat Hidupnya : mengikuti kegitatan karate dan bahkan melampirkan fotokopi sertifikat kelulusan ujian kenaikan tingkat di karate.

Singkat kata, saya mengundang pelamar ini dan melakukan wawancara. Dan, di sini masalah mulai muncul.

PERTAMA,

Meskipun pelamar ini seorang sarjana dan pada berkas lamaran juga disertakan fotokopi ijazah sarjana dan fotokopi transkrip nilai sarjana, ketika saya tanya tentang materi kuliah di mana dia mendapat nilai A, dia menjawab, "Lupa". Padahal, dia belum lebih dari 5 tahun lulus sarjana !

KEDUA,

Pada saat saya tanya tentang warna sabuk karate-nya, dia menjawab, "Biru". Lalu, ketika saya tanya, sabuk karate biru itu dalam aliran karate yang dia ikuti berarti "kyu" (tingkat) berapa, dia bingung menjawabnya. Lalu, dia mulai berusaha mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa sertifikat kelulusan sabuk birunya belum dia ambil dari pengurus karate tempat dia berlatih. Saya menjawab bahwa tanpa memegang sertifikat pun, seorang praktisi karate pasti tahu "kyu" (tingkat / level) berapa dia saat ini.

Selanjutnya, saya menanyakan kepadanya tentang nama 5 (lima) "kata" (jurus) dasar dalam aliran karate yang diikutinya. Dia pun tidak bisa menyebutkan nama-nama itu.

Saya semakin penasaran. Maka, saya meminta dia untuk memperagakan "kata" (jurus) dasar pertama saja. Dan seperti yang sudah saya duga, dia tidak bisa !

* * * * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pecinta blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Tentu saja, pelamar ini tidak akhirnya tidak diterima menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Tetapi, bukan tentang itu saya menulis di blog "Holiparent"  kali ini.

Saya dalam edisi kali ini ingin membagikan pengalaman tentang BAHAYANYA mengejar SEKEDAR KULIT tanpa menguasai ISINYA. Yang saya maksud adalah begini : pelamar yang saya ceritakan di atas memang secara LEGAL FORMAL memiliki ijazah dan transkrip nilai sebagai seorang sarjana, tetapi itu hanya KULITNYA saja. Sebab, dia tidak menguasai ISINYA. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan tentang mata kuliah di mana dia mendapat nilai A untuk mata kuliah tersebut ! Dalam bidang karate, sama saja. Dia memang secara legal formal memiliki sertifikat dan sabuk, tetapi itu hanya KULITNYA saja. Dia tidak tahu ISINYA : dia itu sudah "kyu" berapa, apa saja nama "kata" yang harus dikuasainya, dan bagaimana memperagakan "kata" tersebut.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi ?

Pengalaman saya sebagai praktisi psikologi industri menunjukkan bahwa ada banyak orang (salah satunya adalah pelamar yang saya ceritakan tadi) yang memang hanya MENGEJAR KULIT, tanpa peduli apakah ISINYA sudah dia kuasai atau belum. Bagi orang-orang ini, yang penting adalah punya ijazah + transkrip nilai + gelar (dan setelah itu tidak berusaha mengingat-ingat lagi ilmu yang seharusnya dikuasainya).  Dalam kasus pelamar tadi, dia pun melakukan hal yang sama dalam bidang karate : yang penting punya sabuk biru (dan setelah itu tidak berusaha mengingat-ingat "kyu" maupun nama "kata" apalagi gerakan "kata" yang seharusnya tetap dikuasainya).

Memang, orang-orang golongan tersebut di atas mempunyai harapan bahwa pada saat melamar kerja, maka penyeleksi akan terpesona dengan segala macam berkas yang disertakannya dalam berkas lamaran. Hal itu memang benar !

Tetapi harus diingat bahwa para penyeleksi sepert saya mempunyai metode untuk mengecek apakah itu semua hanya sebatas KULIT, atau benar-benar dikuasai ISINYA. Sebab, dalam menjalankan pekerjaan nantinya, yang dipakai adalah ISINYA (ilmu / pengetahuan yang sudah dipelajari, yang tidak boleh di-LUPA-kan). Pelamar seperti tersebut di atas juga menunjukkan gejala bahwa dia adalah orang yang TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH INGIN MEMPELAJARI SESUATU (dalam hal ini adalah ISINYA), dan sudah merasa puas kalau mendapatkan KULITNYA saja dalam mempelajari sesuatu.

* * * * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Semoga tulisan edisi kali ini semakin membuat kita tambah bersemangat dalam menemani anak-anak kita untuk belajar, dan bukan hanya mengejar KULIT, tetapi juga harus menguasai ISINYA.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Sabtu, 23 Juli 2016

Menemani Anak : Melatih Sikap Mental & Perilaku Fisik untuk Memecahkan Masalah



Ekspresi wajah para trainee yang baru pertama kali melakukan latihan memecahkan masalah (dengan melakukan "tameshiwari")

Seperti biasa, training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan dilaksanakan pada hari Sabtu pagi. Trainee (peserta training) sudah siap pk 06.15. Ada seorang peserta yang harus melakukan perjalanan selama 1 jam lebih.  Artinya, dia harus berangkat dari rumah pk. 05.00. Luar biasa !


* * * * *



"Mengapa kamu sering mengajak trainee (pesera training) melakukan "tamashiwari" ?" tanya sahabat saya, ketika dia tahu bahwa saya mengajak trainee melakukan "tameshiwari" lagi. "Tameshiwari" adalah memecahkan benda-benda untuk latihan, yang dalam training ini diwujudkan dengan memecah genting.

"Meski 'tameshiwari' bukanlah inti dari latihan karate di dojo (tempat latihan karate), tapi sangat berguna untuk membantu meningkatkan sikap mental dan perilaku fisik  para trainee," jawab saya.

Tentu saja, saya menjawab demikian, karena kenyataannya memang begitu.


* * * * *

Seperti biasa, training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan dilaksanakan pada hari Sabtu pagi. Trainee (peserta training) sudah siap pk 06.15. Ada seorang peserta yang harus melakukan perjalanan selama 1 jam lebih.  Artinya, dia harus berangkat dari rumah pk. 05.00. Luar biasa !


* * * * *



"Mengapa kamu sering mengajak trainee (pesera training) melakukan "tameshiwari" ?" tanya sahabat saya, ketika dia tahu bahwa saya mengajak trainee melakukan "tameshiwari" lagi. "Tameshiwari" adalah memecahkan benda-benda untuk latihan, yang dalam training ini diwujudkan dengan memecah genting.

"Meski 'tameshiwari' bukanlah inti dari latihan karate di dojo (tempat latihan karate), tapi sangat berguna untuk membantu meningkatkan sikap mental dan perilaku fisik  para trainee," jawab saya.

Tentu saja, saya menjawab demikian, karena kenyataannya memang begitu.


* * * * *



Dalam training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat", "tameshiwari" bukanlah semata-mata para trainee (peserta training) memecah genting satu, dua, tiga, atau bahkan empat, lima, atau enam, atau tujuh lapis. Sebagai training kepemimpinan yang berbasis karate, para trainee diberikan pengarahan bahwa "tameshiwari" adalah sama seperti ketika mereka menghadapi masalah yang harus DIPECAHKAN di tempat kerja. Saya mengatakan kepada para trainee sebelum mereka melakukan "tameshiwari", PERTAMA-TAMA mereka harus mempunyai niat untuk MEMECAHKANNYA !

Yang KEDUA, mereka harus MENDEKATI, MENYENTUH, MENGENALI, MENGAKRABI dengan sungguh-sungguh apa yang harus DIPECAHKAN itu (kalau di sini : genting; kalau di tempat kerja : masalah kerja).

Yang KETIGA, mereka harus MENSUGESTI diri mereka sendiri bahwa masalah ini MUDAH DIPECAHKAN. Dalam training ini : genting; kalau di tempat kerja : masalah. Saya mengatakan kepada para trainee supaya mensugesti diri masing-masing bahwa genting itu serapuh kerupuk ! Dengan demikian, maka mudah dipecahkan !

Yang KEEMPAT, setelah tahap pertama, kedua, ketiga dilakukan, maka yang harus dilakukan saat akan memecah genting (atau memecahkan masalah kalau di tempat kerja) adalah KONSENTRASI PENUH PERCAYA DIRI (FOKUS TANPA RAGU SEDIKITPUN). Maka, pecahlah genting itu !


* * * * *

"Tapi TEKNIK-nya harus benar, ya ?" tanya sahabat saya.

"Ya," jawab saya.

"Kesiapan MENTAL dan FISIK harus baik, ya ?" tanya sahabat saya lagi.

"Ya," jawab saya. "Harus percaya diri dan antusias ! Tentu saja, harus berdoa !"

"Kalau untuk trainee pemula, boleh memecah genting satu dulu, ya ?" tanya sahabat saya.

"Ya," jawab saya. "Satu dulu, kemudian meningkat secara bertahap. Begitu juga kalau memecahkan masalah di perusahaan : belajarlah memecahkan masalah yang sederhana dulu, kemudian secara bertahap meningkat menjadi memecahkan masalah yang lebih sulit. Bertahap. Disiplin melatih diri !"

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati swasta. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Rabu, 20 Juli 2016

Menemani Anak : Foto "Keren" Anak / Orang Muda dengan Memakai Karate Gi (Pakaian Karate)






"Siapa bilang foto memakai pakaian karate tidak keren ?" begitu kata saya setiap kali melihat anak-anak / orang muda foto / "selfie" dengan memakai pakaian karate.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bagi anak / orang muda saat ini, "keren" atau "tidak keren" menjadi salah satu pertimbangan penting untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (termasuk : training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang berbasis karate). Terlebih lagi, sekarang ini "smartphone" dilengkapi kamera yang memudahkan berfoto ria di manapun juga, tidak terkecuali sebelum atau sesudah training sikap mental & perilaku fisik berbasis karate dilakukan. Dan, foto-foto ini akan cepat sekali menyebar / disebarkan di berbagai media sosial, karena teknologi "smartphone" memang memungkinkan untuk itu. Semakin anak / orang muda menilai bahwa foto dirinya (dengan memakai pakaian karate) adalah "keren", semakin banyak dia menyebarkan foto itu di berbagai media sosial. Dan, semakin teman-temannya di media sosial juga melihat bahwa foto itu memang "keren", maka foto itu akan disebarkan di media sosial dengan lebih luas lagi.

* * * * *




"Kamu melihat bahwa media sosial memang mendukung sosialisasi training ini, ya ?" tanya sahabat saya.

"Mau tidak mau, inilah gaya hidup anak / orang muda sekarang yang sangat kental dengan teknologi dan media sosial," jawab saya. "Kita harus menerimanya, dan memanfaatkannya untuk kebaikan lebih banyak orang. Bukankah kegiatan training ini merupakan kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat ?"

Sahabat saya mengangguk-anggukkan kepala, tanda setuju.

* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan training yang "keren", menyenangkan, dan bermanfaat. Selamat menemani anak dengan karate.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----




Tulisan oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia. Foto koleksi Wahyu Dian Saputri.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati swasta. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Menemani Anak : MEMBAGIKAN HAL YANG MEMBAHAGIAKAN & BERGUNA


"Apa yang menarik dari memberikan training sikap mental & perilaku fisik untuk kepemimpinan, yang berbasis karate ?"

Setiap kali saya mendapatkan pertanyaan (semacam) itu, saya selalu menjawab, "Melihat senyum kebahagiaan peserta training ketika saya mengajarkan cara mengikat sabuk warna putih kepada mereka".

* * * * *

Ya, memang benar, bahwa saya selalu merasa ikut berbahagia ketika melihat senyum yang mengembang dan mata yang berbinar ketika peserta training untuk pertama kalinya (belajar) memakai sabuk berwarna putih. Dan inilah yang (memang) membuat saya tertarik untuk terus mengajarkan sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan. Ada sekian banyak kegembiraan dan kebahagiaan peserta yang bisa ikut saya rasakan. 

Sungguh, melihat orang berbahagia itu membuat saya ikut jadi berbahagia juga. Saya mendapatkan ide ini dari para penjual sepeda anak-anak. Setiap kali saya ke toko sepeda (membeli sepeda untuk saya, istri saya, anak saya, dan keponakan saya; jadi saya memang punya langganan toko sepeda), saya selalu memperhatikan anak-anak yang dengan gembira memandang jajaran sepeda yang dijual (dan mereka akan dibelikan satu oleh orang tua mereka). Saya berkali-kali berkata kepada anak dan istri saya, orang berjualan sepeda itu sekaligus membagikan kebahagiaan kepada anak-anak itu, dan otomatis kepada orang tuanya juga. 

Memang, saya sampai saat ini tidak berjualan sepeda anak-anak, dan tidak bisa membagikan kebahagiaan kepada anak-anak dan orang tuanya dengan berjualan sepeda. Tetapi dengan training sikap mental & perilaku fisik untuk kepemimpinan yang berbasis karate ini, saya bisa melakukan hal yang sama : membagikan kebahagiaan kepada para peserta (dan orang tua mereka).

* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan kegiatan yang membahagiakan mereka dan sekaligus berguna untuk sikap mental & perilaku fisik mereka.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia. Foto oleh Tim Training "Tekad Kuat".

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati swasta. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.





Selasa, 19 Juli 2016

Menemani Anak : SEGERA MENJALANKAN APA YANG DIRENCANAKAN


"Bagaimana cerita terbentuknya training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang berbasis karate ini ?"

Ternyata ada juga yang penasaran, ingin tahu tentang hal ini. Dan karena saya melihat bahwa cerita terbentuknya training ini juga mengandung hikmah yang baik, maka saya akan menceritakan bagaimana terbentuknya training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan ini.

Training ini lahir karena obrolan yang singkat dan santai tetapi memang mendalam tentang apa yang bisa dilakukan bagi generasi muda di saat godaan untuk tertular sikap dan perilaku manja / serba mudah ada di mana-mana.

Obrolan ini saya lakukan dengan para asisten saya, yang semuanya adalah praktisi human resources di perusahaan swasta. Mereka ini tahu banyak tentang bahayanya orang-orang muda yang sejak kecil sudah dimanjakan dengan kemudahan dalam segala hal, sehingga daya juang-nya rendah.

Selain itu, obrolan juga saya lakukan dengan istri dan anak saya. Mereka ini adalah orang yang ----- menurut saya dan teman-teman karate saya ----- memang mencintai karate. Dengan merekalah, saya melihat kenyatakaan bahwa anak muda yang menyukai karate sekarang ini tidak sebanyak ketika saya masih remaja di tahun 1980-an. Memang, sekarang ini ada banyak sekali "game" di komputer / notebook / gadget yang lebih disukai oleh anak-anak dan remaja. Namun demikian, melihat bahwa karate ini berguna dalam membangun sikap mental dan perilaku fisik, saya bersama istri dan anak melihat bahwa orang muda seharusnya tetap dikenalkan dengan karate.

Inilah sebabnya, saya mengakatakan obrolan ini singkat dan santai : tidak ada rapat formal, semuanya menyenangkan karena itu merupakan bidang keahlian dan minat kami. Tetapi, saya juga mengatakan bahwa dilakukan secara mendalam. Mengapa ? Karena yang membahas adalah orang yang memang tahu dan mencintai hal itu (di satu pihak : praktisi human resources; di lain pihak : praktisi karate). Kebetulan saya sendiri adalah praktisi psikologi industri (yang menjadi praktisi human resources sejak 14 tahun yang lalu) dan juga praktisi karate (yang berlatih sejak usia 19 tahun; istri saya juga berlatih karate sejak usia 19 tahun, sedangkan anak saya berlatih karate sejak umur 8 tahun).

Pada hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2015, dimulailah training sikap mental dan perilaku fisik yang pertama kali, dengan basis karate. Semuanya dijalankan dengan doa dan rencana secukupnya saja. Disebut secukupnya, karena yang penting sudah ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu meningkatkan sikap mental & perilaku fisik. Yang menjadi peserta pun adalah yang selama ini terlibat dalam pembahasan tentang training ini. Yang penting adalah : segera menjalankan apa yang sudah direncanakan, tidak usah menunggu perencanaan itu menjadi benar-benar sempurna. Sebab, manusia itu memang tidak sempurna, dengan demikian apapun yang dikerjakannya juga tidak sempurna. Tetapi, justru dari kesadaran inilah, sambil tetap menjalankan training, selalu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan, sehingga selalu menjadi lebih baik.


* * * * *

Ibu-ibu dan bapak-bapak pembaca blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang terhormat,

Semoga cerita tentang lahirnya training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang berbasis karate ini berguna untuk menambah wawasan kita bersama.

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dalam ketidaksempurnaan kita sebagai manusia, tetapi selalu berdoa dan mengupayakan supaya selalu menjadi lebih baik.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


-----oOo-----




Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.


Senin, 18 Juli 2016

Menemani Anak : Perlunya Training Sikap Mental & Perilaku Fisik (Contoh Praktis)



"Mengapa sikap mental & perilaku fisik itu perlu dilatih lewat training berbasis karate ?"

Saya tidak heran kalau ada orang tua yang bertanya demikian, sebab memang di saat ini masih banyak orang yang belum sepenuhnya memahami bahwa sikap mental & perilaku fisik cenderung melemah, justru ketika segala sesuatunya sudah serba mudah / serba praktis. Banyak orang (terutama orang muda yang lahir di tahun 1990-an atau setelahnya) yang menjadi "tidak sabaran" / inginnya serba cepat & mudah, dan karena itu cenderung mudah mengeluh / kegigihannya menurun (meskipun ----- tentu saja ----- tidak semua orang muda seperti ini). Mereka lebih suka "hura-hura" dan kurang familiar denga  yang namanya "prihatin" (termasuk prihatin dalam menempa sikap mental & perilaku fisiknya).



Ibu-ibu dan bapak-bapak pembaca setia blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Profesi saya sebagai seorang praktisi psikologi industri-lah yang menyadarkan saya : betapa sikap mental & perilaku fisik yang kuat harus semakin ditempa, di tengah-tengah gaya hidup orang muda / remaja / anak-anak yang serba mudah & praktis ini. Mereka harus disadarkan bahwa semua alat yang canggih itu adalah semata-mata alat bantu saja. Misalnya, sepeda motor atau mobil. Memang, demi mobilitas / aktivitas yang tinggi, tidak dipungkiri bahwa perlu naik sepeda motor / mobil. Tetapi yang harus ditanamkan ----- lewat training sikap mental & perilaku fisik ----- adalah : jangan sampai ketika sepeda motor / mobil mendadak rusak, seolah-olah semua mobilitas / aktivitas tidak dapat dilakukan. Ingat ! Setiap orang masih mempunyai kaki untuk berjalan ----- setidaknya berjalan me halte bus ----- untuk naik bus ke tempat tujuan. Memang, berjalan kaki itu lebih melelahkan (bagi yang sikap mental & perilaku fisiknya tidak lernah dilatih !), apalagi di bawah panas terik matahari (atau guyuran hujan, meskipun sudah memakai payung); belum lagi selama perjalanan di dalam bus juga harus berdiri terus ! Aduh, betapa lelah kakinya ! (sekali lagi, bagi yang sikap mental & perilaku fisiknya tidak pernah dilatih).

Tetapi, bagi orang (muda maupun tua) yang sikap mental & perilalu fisiknya terlatih, kegiatan seperti itu bisa dipandang sebagai kesempatan untuk berolah raga (ha...ha...ha... !) meskipun harus bangun lebih pagi dan berjalan cepat / berlari-lari supaya tidak terlambat !

* * * * *



Lalu, mengapa harus menggunakan basis gerakan dasar karate ?

Ya supaya tidak salah dalam memberikan training !

Sebagaimana diketahui bersama, training sikap mental & perilaku fisik tidak bisa diberikan secara sembarangan : kalau terlalu ringan maka tidak ada "impact-nya", kalau terlalu berat maka bisa berbahaya untuk kesehatan tubuh (keseleo, memar, luka-luka, dan sebagainya). Intinya, training ini harus "cukup" berat / keras, tetapi dilalukan secara teratur, bertahap, dan terukur; bahkan untuk peserta yang satu dan peserta yang lain tidak bisa disamakan begitu saja.

Karate mempunyai gerakan-gerakan dasar yang sistematis dan mudah diukur, meskipun tantangannya berat. Karena saya adalah seorang praktisi karate, maka saya tahu tentang hal ini ----- termasuk apa perenungan / hikmah yang bisa diambil, kalau dikaitkan dengan pekerjaan sehari-hari & dunia kerja ----- dan saya menilai bahwa gerakan-gerakan dasar karate sangat telat ----- dan terbukti efektif dalam training yang sudah saya jalankan ----- untuk meningkatkan sikap mental & perilaku fisik. Memang, "ilmu" yang saya gunakan bukan hanya karate saja, tetapi juga psikologi. Tentu saja, sebagai sebuah training, kepada setiap peserta harus saya lakukan evaluasi 4 tingkatan sebagaimana dikemukakan oleh Kirkpatrick, yaitu : (1) training ini harus menyenangkan / membanggakan peserta (meskipun sulit dan penuh tantangan; di sinilah seni / keahlian yang harus dimiliki oleh trainer), (2) training ini harus membawa perubahan yang lebih baik bagi peserta pada saat sudah mengikuti training (setiap kali selesai training, dilakukan evaluasi perkembangan peserta; untuk itu digunakan foto maupun video sebagai bukti dokumentasi training / untuk keperluan evaluasi), (3) setelah mengikuti training ini, peserta dalam kehidupan sehari-hari (maupun di tempat kerja) menunjukkan adanya peningkatan / kemajuan dalam hal sikap mental & perilaku fisiknya, (4) peserta memang pada saat yang sudah ditentukan / direncanakan memang menunjukkan sikap mental yang diharapkan & perilaku fisik yang diharapkan (percaya diri, berani, fisiknya kuat, menjalankan tugas pekerjaan yang berat secara mental maupun fisik tanpa mengelu & tetap sehat, dan sebagainya).

* * * * *



Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak untuk meningkatkan sikap mental & perilaku fisiknya.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan kaeyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Minggu, 17 Juli 2016

Menemani Anak : Tentang Training Sikap Mental & Perilaku Fisik Kepemimpinan yang Berbasis Karate



Masih tentang training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang dilakukan dengan basis karate. Beberapa orang yang sudah dewasa mengajukan pertanyaan kepada saya (untuk dirinya sendiri maupun untuk anak-anaknya yang masih SD / SMP / SMA / kuliah) : apa perbedaan training ini dengan latihan karate di "dojo" (tampat latihan karate) yang "standar".

Saya menjelaskan bahwa perbedaan PERTAMA adalah pada waktu latihannya. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat" ini hanya dilakukan seminggu sekali @ 1 jam saja. Adapun latihan karate "standar" di "dojo" dilakukan seminggu 2 kali @ 2 jam.

Perbedaan KEDUA ada pada tujuannya. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat" ini bertujuan untuk mengasah sikap mental & perilaku fisik yang merupakan aspek penting dalam kepemimpinan; dengan demikian, ini merupakan training psikologi untuk kepemimpinan. Adapun latihan karate "standar" di "dojo" bertujuan untuk kegiatan beladiri dan olah raga (termasuk : mengikuti turnamen / pertandingan).



Perbedaan KETIGA ada pada materi yang diberikan. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat" memberikan hanya gerakan-gerakan dasar dari karate, untuk keperluan meningkatkan sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan; dengan demikian tidak diberikan materi tentang "kata" (jurus). Pada latihan karate "standar" di "dojo", diberikan materi tentang "kihon" (gerakan dasar), "kata" (jurus), maupun "kumite" (pertarungan).

Perbedaan KEEMPAT ada pada orientasi sistem. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan"Tekad Kuat" ini berorientasi pada sistem training psikologi industri (kepemimpinan) maupun training manajemen (bandingkan dengan Training "Six Sigma" yang menggunakan level "green belt" dan "black belt"). Adapun latihan karate "standar" di "dojo" menggunakan sistem dari salah satu aliran karate yang ada di Okinawa / Jepang.



Namun demikian, orang dewasa / remaja / anak yang mengikuti training sikap mental & perilaku fisik "Tekad Kuat" diharapkan mulai mengenal dan semakin mencintai karate, sehingga cepat atau lambat ingin ikut latihan karate "standar" di "dojo". Diharapkan, pada saat mengikuti latihan karate yang "standar" di "dojo", maka pengalaman mengikuti training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan akan banyak membantu, karena basis yang diberikan dalam training sikap mental & perilaku fisik ini adalah gerakan dasar karate.

* * * * *





Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dalam meningkatkan sikap mental & perilaku fisik kepemimpinannya, dengan training berbasis karate.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardina Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Sabtu, 16 Juli 2016

Menemani Anak : Hikmah dari Training Sikap Mental & Perilaku Fisik Kepemimpinan yang Berbasis Karate



Ada yang selalu menarik dari "perjalanan" memberikan training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan dengan basis karate. Para peserta yang berstatus karyawan perusahaan dengan penuh semangat mengikuti training yang diberikan dalam waktu 1 (satu) jam seminggu sekali, sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali pertemuan.

Training sikap mental &  perilaku fisik kepemimpinan pagi ini (Sabtu, 16 Juli 2016) diisi dengan "latihan pemanasan" kemudian dilanjutkan dengan dasar-dasar tendangan ke depan. Para peserta mengikuti training yang diberikan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat (termasuk dua orang peserta yang baru ikut training untuk pertama kalinya).

Karena kegiatan ini adalah training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan, maka para peserta dijelaskan tentang FILOSOFI dari materi gerakan tendangan ke depan ini.



PERTAMA,
Para peserta merasakan dan mengakui bahwa melakukan tendangan ke depan kelihatannya mudah, tetapi ketika mempraktekkannya sendiri ternyata sulit.



Makna yang dipelajari : segala sesuatunya harus dipelajari langkah demi langkah, meskipun kelihatannya sederhana / mudah.



KEDUA,
Peserta yang pada awalnya belum bisa, setelah mempraktekkan dengan didampingi / diarahkan oleh trainer / asisten trainer, ternyata ada kemajuan / mulai bisa.



Makna yang dipelajari : mempelajari sesuatu itu perlu bertanya / melihat contoh dari orang yang sudah / lebih bisa; artinya, harus ada kesadaran diri dan kerendahan hati bahwa kita memang harus mau belajar dari orang lain yang lebih pandai / ahli.



* * * * *



Semoga tulisan hari ini dapat menginspirasi para ibu dan ayah dalam menemani anak-anaknya.

Selamat menemani anak dengan sikap mental dan perilaku fisik kepemimpinan yang baik.



"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Jumat, 15 Juli 2016

Menemani Anak : Komentar Orang yang Baru "Bertemu" Karate Ketika Sudah Dewasa



"Sayang ya, baru sekarang saya kenal dengan karate," demikian kalimat yang saya dengar dari seorang karyawati, ketika saya di sela-sela kegiatan memberikan training kepemimpinan & manajemen sumber daya manusia, menunjukkan foto-foto dan juga film latihan karate saya kepadanya. Foto-foto dan film itu saya tunjukkan dalam rangka memberi contoh nyata : betapa latihan yang keras dan berdisiplin itu memang perlu.

"Latihan karate itu harus PUNYA TUJUAN yang jelas, karena tujuan itulah yang memunculkan KEGIGIHAN seseorang untuk TERUS LATIHAN dan MENGATASI RASA BOSAN," kata saya. "Dan di tempat kerja pun, hal yang sama juga diperlukan".

"Jadi, latihan karate itu MENEMPA SIKAP MENTAL & FISIK, ya ?" dia bertanya.

"Benar sekali," kata saya.

* * * * *

Berkali-kali saya mendengar komentar seperti tadi : sayang, baru sekarang ini "bertemu" dengan praktisi karate dan mengetahui tentang kegunaan karate secara menyeluruh (bahkan, secara umum mereka sebelumnya punya pandangan bahwa karate = berkelahi !).

"Ternyata di janji karate itu ada kata-kata bahwa harus menjauhi kekerasan, ya ?" ada yang bertanya demikian.

"Ya ! Praktisi karate itu keras kepada diri sendiri, tapi lemah lembut kepada orang lain," kata saya. "karate itu adalah SENI, yaitu SENI BELADIRI".

Ada juga, seorang bapak yang mengatakan kepada saya bahwa dia suka mengikuti kegiatan "Outbound Training" yang berbasis karate (meskipun dia belum pernah dan belum siap untuk latihan karate di "dojo" (tempat latihan) karate, karena alasan kesibukan kerja). Mengapa dia suka ? Karena dia merasa bahwa mengikuti "Outbound Training" yang berbasis karate pun sudah terasa manfaatnya, yaitu latihan dengan disiplin yang tinggi (BUKAN PERMAINAN) yang terlihat jelas SEMANGAT JUANGNYA. Hal-hal ini menurut dia adalah relevan dengan tuntutan di dunia kerja.

* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan karate.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Selasa, 12 Juli 2016

Menemani Anak : KARATE TIDAK MENYEBABKAN CEDERA



"Apakah latihan karate tidak menyebabkan anak saya cedera ?"

Ini merupakan pertanyaan yang umum diajukan oleh para ibu dan ayah ketika anaknya ingin ikut latihan karate (dan orang tuanya memang belum ada pengalaman ikut latihan karate).

Saya menjawabnya begini, "Kalau latihan karate membuat orang cedera, jelas saya tidak mau ikut latihan karate. Demikian pula istri saya. Dan saya tidak akan mendukung anak perempuan saya ikut latihan karate".

Mendapat jawaban seperti yang ini, biasanya muncul lagi pertanyaan (untuk memastikan bahwa saya tidak salah menjawab), "Jadi latihan karate tidak menyebabkan cedera, ya ?"

Saya menganggukkan kepala.

* * * * *



Di sini saya tidak bermaksud mengatakan bahwa tidak ada orang yang cedera ketika ikut latihan karate ! Bukan ! Kalau saya bermaksud mengatakan demikian, jelas saya berbohong. Sebab, olah raga permainan yang populer seperti badminton pun bisa menyebabkan cedera, kalau orang yang bermain TIDAK SIAP & TIDAK WASPADA.

Justru karena disadari oleh semua orang yang ikut latihan karate bahwa latihan karate menuntut supaya orang selalu SIAP & WASPADA, maka orang yang ikut latihan karate jarang cedera. Mengapa demikian ?

PERTAMA,
Kesadaran bahwa ikut latihan karate BUKANLAH PERMAINAN ternyata membuat orang yang ikut latihan karate sejak mula pertama selalu SIAP & WASPADA. Misalnya, dia akan dengan PENUH KESADARAN melakukan pemanasan / peregangan otot tubuh sebelum / pada setiap awal latihan dengan sungguh-sungguh. Mengapa ? Karena dia paham RISIKO-nya (kalau tidak melakukan pemanasan / peregangan otot tubuh terlebih dahulu).

KEDUA,
Selama latihan karate, setiap orang melakukannya dengan KONSENTRASI PENUH, tidak main-main / guyonan (bahkan, meskipun untuk anak-anak digunakan metode permainan, permainannya juga dijalankan dengan teliti dan hati-hati). Mengapa ? Karena ada kesadaran tentang RISIKO YANG ADA kalau terlena.

KETIGA,
Latihan karate selalu dilakukan dengan siatematika tertentu, TIDAK ASAL-ASALAN. Dan sistematika ini, termasuk gerakan-gerakan tubuh, adalah merupakan hasil riset para ahli karate yang selalu disempurnakan. Para ahli karate tahu bahwa tubuh memiliki kekuatan yang bisa dilatih dan kelemahan yang harus dijaga dengan hati-hati. Karena itu, jangan latihan sendiri kalau belum pernah belajar dengan orang yang paham tentang karate.



* * * * *

"Jujur saja, apa kamu pernah cedera selama latihan karate ?" tanya sahabat saya.

"Ya," jawab saya jujur.

"Kenapa ?" tanya sahabat saya.

"Karena saya SEMBRONO," jawab saya.

"Wah, kalau SEMBRONO kemudian CEDERA, itu DI KEGIATAN APAPUN juga begitu," komentar sahabat saya.


* * * * *

Pengalaman saya dan banyak praktisi karate yang lain, pola pikir & sikap SELALU SIAP & WASPADA dalam latihan karate ini karena KESADARAN akan POTENSI RISIKO ini justru bernilai POSITIF dalam KEHIDUPAN sehari-hari & di TEMPAT KERJA : kami TIDAK PERNAH MAIN-MAIN, kami selalu SUNGGUH-SUNGGUH !

* * * * *



Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak untuk TIDAK SEMBRONO, untuk SELALU SIAP & WASPADA supaya TIDAK CEDERA. Selamat mendidik anak lewat latihan karate.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Senin, 11 Juli 2016

Menemani Anak : ALOKASI WAKTU YANG SEIMBANG



"Apakah latihan karate tidak membuat pendidikan anak saya terbengkalai ?"

Pertanyaan di atas adalah wajar kalau diajukan oleh ibu atau ayah yang anaknya ingin ikut latihan karate.

Menjawab pertanyaan tersebut, saya mengatakan bahwa ada banyak orang yang pelajarannya terbengkalai meskipun dia tidak ikut latihan karate.

"Sesuai dengan apa yang saya sampaikan dalam training-training saya tentang leadership, komunikasi, dan human resources, setiap orang harus selalu melakukan perenungan tentang apa yang menjadi TUJUAN HIDUP-nya," kata saya. "Kalau tujuan hidupnya ingin menjadi PROFESIONAL di bidang MANAJEMEN, maka latihan karate harus dilakukan sesuai porsinya".

"Sesuai porsinya ?" begitu pertanyaan yang selanjutnya muncul.

"Sesuai porsinya itu dalam pelaksanaannya bisa berbeda-beda untuk masing-masing orang," kata saya. "Sekali lagi, ini disesuaikan dengan tujuan masing-masing orang. Tidak bisa disamaratakan".

* * * * *



Untuk latihan karate bagi anak kelas 3 - 6 SD, 7 - 9 SMP, 10 - 12 SMA, dan mahasiswa perguruan tinggi, biasanya dua kali seminggu @ 90 - 120 menit. Untuk yang ingin menjadi atlet, tentu latihan ditambah lagi frekuensinya maupun kualitasnya. Untuk karyawan, bisa ada variasi, tergantung pada usia dan tujuan-nya ("kenapa dia ikut latihan karate").

"Yang penting, juga latihan rutin di rumah, meskipun hanya 30 menit, setiap harinya," kata saya. "Gerakannya sederhana saja, tetapi mengulangi apa yang sudah dipelajari saat latihan di  dojo (tempat latihan).

* * * * *



"O.... Jadi tidak mengganggu pendidikan, ya ?" tanya sahabat saya.

"jelas tidak," jawab saya. "Asalkan pandai mengalokasikan waktu".


* * * * *



Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak supaya anak mempunyai kegiatan yang seimbang, antar kegiatan akademis dan kegiatan non akademis (termasuk kegiatan rohani /


keagamaan, kegiatan sosial, dan kegiatan fisik dalam hal ini latihan karate (perlu diingat bahwa karate juga memberikan materi  tentang "akal + mental + teknik + fisik + filosofi").

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"


-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Minggu, 10 Juli 2016

Menemani Anak : LATIHAN KARATE SESUAI TAHAPAN PERKEMBANGAN MANUSIA




"Apakah latihan karate untuk anak-anak usia Taman Kanak-Kanak dan latihan karate untuk ibu / ayah usia 40 tahun ke atas (yang di masa mudanya tidak pernah latihan karate) sama dengan latihan karate untuk peserta usia SD / SMP / SMA / Perguruan Tinggi ?"

Setiap kali ada yang mengajukan pertanyaan tersebut kepada saya, saya jawab dengan kata, "Tidak !"



Mengapa demikian ?

Pada setiap tahap perkembangan manusia, selalu ada kondisi psikologi dan fisik yang khas. Contohnya, kondisi psikologi dan fisik anak usia TK (Taman Kanak-Kanak) berbeda dengan remaja usia SMA. Hal ini menyebabkan latihan karate untuk masing-masing usia tersebut juga berbeda, disesuaikan dengan kondisi fisik dan psikologi masing-masing, yang secara otomatis juga terkait dengan APA TUJUAN YANG HENDAK DICAPAI pada masing-masing tahap perkembangan tersebut.



Pada anak TK (usia 4-5 tahun) dan SD kelas 1-2 (usia 6-7 tahun), latihan karate lebih bersifat "permainan" yang menyiapkan gerakan tubuh dan anggota tubuh, yang berguna sebagai DASAR dari latihan karate di usia selanjutnya. Selain itu, latihan karate pada tahap ini pun sudah menanamkan dasar-dasar SIKAP HORMAT kepada orang lain. Kepada mereka ditanamkan sikap CINTA DAMAI dan TIDAK MEM-BULLY orang lain (yang lebih lemah secara fisik dan mental dari mereka).



Pada anak SD kelas 3-6 (usia 8-11 tahun), SMP kelas 7-9 (usia 12-14 tahun), latihan karate sudah diberikan sesuai "standar yang sebenarnya" (bukan lagi menggunakan metode "permainan" seperti pada tahap sebelumnya). Ujian kenaikan KYU ("kenaikan sabuk") sudah bisa diterapkan di tahap perkembangan ini. Bahkan bisa jadi sudah ada yang bisa menjadi atlet karate (meskipun itu bukan satu-satunya tujuan, karena karate mendidik AKAL + MENTAL + TEKNIK + FISIK + FILOSOFI; khusus untuk FILOSOFI memang masih terbatas, disesuaikan dengan usia pada tahap ini).  Bahkan, latihan karate juga merupakan sarana "anti bullying".



Tahap berikutnya adalah SMA kelas 10-12 (usia 15-17 tahun) dan perguruan tinggi (usia 18-22 tahun). Pada tahap ini diberikan latihan standar seperti tersebut di atas, ditambah dengan penekanan pada FILOSOFI : apa sebenarnya makna dan kegunaan karate bagi KEHIDUPAN & DUNIA KERJA. Dengan demikian, meskipun nantinya mereka ini sudah memasuki dunia kerja, mereka akan tetap melanjutkan latihan karate karena mereka sudah PAHAM KAITAN / MANFAAT KARATE BAGI KEHIDUPAN & DUNIA KERJA (apapun level jabatan / pekerjaannya : mulai dari STAF sampai SUPERVISOR, MANAJER, DIREKTUR, bahkan KOMISARIS). Bahkan, latihan karate juga berguna sebagai sarana "beladiri praktis".





Ketika orang sudah memasuki tahapan perkembangan selanjutnya, yaitu usia TENAGA KERJA PRODUKTIF (yaitu 23 tahun ke atas) dan terutama ketika usia sudah memasuki 40 tahun atau lebih, maka latihan karate tetap meliputi AKAL + MENTAL + TEKNIK + FISIK + FILOSOFI, dan dalam hal ini FILOSOFI mendapatkan porsi yang lebih besar. Secara fisik, orang yang berusia 40 tahun ke atas (dan sebelumnya belum pernah latihan karate) memiliki keterbatasan dalam hal fisik (dibandingkan anak SD kelas 3 sampai mahasiswa usia 22 tahun), tetapi bukan berarti mereka ini tidak bisa mulai latihan karate. Dengan mendalami FILOSOFI karate (otomatis tetap harus latihan AKAL + MENTAL + TEKNIK + FISIK seperti pada tahap perkembangan sebelumnya, namun dengan "porsi" yang berbeda), maka mereka ini akan tetap dapat memperoleh manfaat karate bagi KEHIDUPAN & DUNIA KERJA, bahkan dalam MEMPERSIAPKAN DIRI MEMASUKI USIA PENSIUN (usia 55-60 tahun), yaitu : KESEHATAN FISIK & PSIKIS. Karate sebagai sarana "beladiri praktis" juga merupakan daya tarik bagi orang di usia ini, karena di zaman sekarang ini, ada juga orang tua yang menjadi sasaran kejahatan.





Tentu saja, sudut pandang orang bisa berbeda-beda, dan tidak semua praktisi karate memiliki sudut pandang seperti ini (latihan disesuaikan dengan tahapan perkembangan manusia yang dikenal dalam ilmu PSIKOLOGI & latihan disesuaikan dengan TUJUAN HIDUP masing-masing tahap perkembangan : dari sekedar permainan (usia TK & SD kelas 1-2) sampai kegunaan di tempat kerja, bahkan untuk menjaga KESEHATAN FISIK & PSIKIS memasuki usia pensiun). Namun, hal seperti ini diperlukan, supaya orang MERASA PERLU latihan karate sampai usia lanjut, karena MEMANG ADA KEGUNAAN PRAKTISNYA (dan karate tidak lagi hanya dilihat sebagai kegiatan FISIK apalagi untuk BERKELAHI).



Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan berlatih karate bersama (meskipun anak-anak TK / SD kelaa 1-2 lebih banyak "permainannya" sedangkan orang tua lebih banyak belajar "filosofinya").

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi Psi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.