Minggu, 06 November 2016

Melatih Disiplin Kepemimpinan dengan Latihan Kontak Fisik

(Vidya, S.Psi menunjukkan kedua tangannya yang memar di beberapa bagian karena kontak fisik setelah mengikuti Training SKOT ke-66 pada tanggal 5 Nopember 2016)

Di zaman serba komputer sekarang ini, tidak jarang anak-anak, bahkan remaja dan orang dewasa terjebak pada permainan serba komputer sampai-sampai lupa dengan kegiatan fisik untuk melatih kekuatan fisik maupun sikap mental.

Namun, hal itu tidak berlaku bagi Vidya, S.Psi, Happy Hapsari, SH, dan teman-temannya yang secara rutin mengikuti Training SKOT, sebuah training berbasis karate untuk melatih sikap mental dan kekuatan fisik untuk mendukung kemampuan intelektual.

(Happy Hapsari, S.H. menunjukkan tangannya yang lecet-lecet karena kontak fisik setelah mengikuti Training SKOT ke-66 pada tanggal 5 Nopember 2016)

Vidya dan Happy tidak ragu-ragu mengikuti Training SKOT yang jelas-jelas menggunakan metode kontak fisik dalam latihannya. Vidya yang saat ini masih mengenakan sabuk putih dan Happy yang saat ini mengenakan sabuk hijau Training SKOT beralasan bahwa Training SKOT ini membuat mereka semakin siap dan waspada karena sikap mental maupun kekuatan fisik betul-betul dilatih tanpa ada pengaman apapun. Pengamanan yang ada selama mengikuti Training SKOT adalah doa dan keseriusan mengikuti Training SKOT itu sendiri.

(Wina Desiana Wardani, S.Pt sedang mengikuti Training SKOT ke-66 pada tanggal 5 Nopember 2016 dengan metode kontak fisik. Wina sedang melatih serangan dengan menggunakan siku tangan kanan, sedangkan Happy Hapsari, SH sedang melakukan tangkisan)

Wina Desiana Wardani, S.Pt yang dalam Training SKOT ke-66 berlatih berpasangan dengan Happy Hapsari, SH mengatakan bahwa meskipun kedua tangannya memar-memar setelah mengikuti Training SKOT ke-66 ini, dia tidak merasa kapok, tapi justru menambah semangat untuk terus berlatih. Bagi Wina yang bersama Happy dan teman-teman seangkatannya yang sudah memakai sabuk hijau Training SKOT ini, kontak fisik bukan merupakan hal yang asing dalam Training SKOT. Sejak awal mula mengikuti Training SKOT, Wina dan teman-temannya sudah terbiasa melakukan tameshiwari atau memecah / mematahkan genteng maupun bata, yang semuanya asli dalam arti bukan dibuat khusus untuk keperluan latihan (bukan dibuat lebih tipis / lebih mudah pecah, tapi betul-betul genteng dan bata asli yang ada di toko-toko bangunan).

Tentu saja, sekali lagi, ini bukan untuk gagah-gagahan, tetapi untuk melatih sikap mental dan kekuatan fisik secara teratur.

(Rahmi Hardyastuti, S.Psi (sabuk hijau Training SKOT)sedang berlatih kontak fisik dengan Rini Nur Kusumaningrum, SE (sabuk kuning Training SKOT) dalam Training SKOT ke-66 tanggal 5 Nopember 2016)

(Rini Nur Kusumaningrum, SE (sabuk kuning Training SKOT) latihan kontak fisik dengan Rahmi Hardyastuti, S.Psi (sabuk hijau Training SKOT).

(Vidya, S.Psi, mahasiswi S-2 Magister Profesi Psikologi Unika Soegijapranata (sabuk putih Training SKOT) sedang melakukan serangan menggunakan siku tangan dengan partner Cicilia Pratiwi, S.Si (sabuk putih Training SKOT))

(Cicilia Pratiwi, S.Si (sabuk putih Training SKOT) sedang berlatih kontak fisik dengan partner Vidya, S.Psi (sabuk putih Training SKOT))

(Happy Hapsari, SH (sabuk hijau Training SKOT) sedang berlatih menyerang menggunakan siku tangan dengan partner Wina Desiana Wardani, S.Pt (sabuk kuning Training SKOT))

* * * * *

Selamat berlatih !

Selamat menemani anak dan remaja maupun orang dewasa mengikuti Training SKOT untuk sikap mental dan kekuatan fisik yang lebih baik.

(Sabuk hijau Training SKOT dengan tulisan "cerdas + gigih + kuat" dalam huruf kanji. Training SKOT ditujukan bagi mereka yang mempersiapkan dirinya untuk menjadi pemimpin di tempat kerjanya, yang perlu "intelek pemikirannya + ulet kepribadiannya + kuat tubuh fisiknya")

* * * * *

"Menemani Anak, Remaja, Dewasa = Mencerdaskan Bangsa"

----- o O o -----

Sabtu, 13 Agustus 2016

Mengatasi Rasa Bosan dalam berproses "PRACTICE MAKES PERFECT"


Masih seperti hari Sabtu pagi yang sudah-sudah, saya dan istri pagi hari Sabtu ini (13-8-2016) juga kembali melatih karate bagi para karyawan dan karyawati. Akan tetapi, karate di sini adalah sebagai jalan / sarana Training "Leadership & Fighting Spirit". Training "Leadership & Fighting Spirit
merupakan hal yang penting bagi para pemimpin maupun calon pemimpin di group perusahaan di mana saya memberikan pelatihan ini.

Happy Hapsari, S.H. sedang latihan melancarkan pukulan dalam beladiri praktis.

Pertanyaannya, mengapa pengalaman memberikan training "Leadership & Fighting Spirit" berbasis karate ini saya tuliskan di blog inspirasi pendidikan kreatif ini ?

Jawabnya adalah : sebagai upaya saya men-"sharing"-kan betapa perlunya PERJUANGAN MENGATASI RASA BOSAN dalam berproses "PRACTICE MAKES PERFECT".

Begini ceritanya....


Happy Hapsari, S.H. sedang latihan menyerang dengan siku tangan dalam beladiri praktis.

Gerakan-gerakan karate untuk bela diri praktis yang dilatihkan di sini secara jelas menunjukkan PROSES KEMAJUAN seseorang dari latihan ke latihan yang diikutinya, baik dalam hal memukul, menendang, dan sebagainya.

Ada yang memang terlihat mempunyai BAKAT yang tinggi, tetapi kalau tidak secara rutin latihan, maka kemajuannya juga tidak secepat yang bakatnya biasa-biasa saja tetapi TEKUN LATIHAN secara rutin.

Ini merupakan HIKMAH yang secara KELIHATAN MATA dapat diambil dalam Training "Leadership & Fighting Spirit" ini.



Mengatasi rasa bosan ketika melakukan gerakan yang sama secara berulang-ulang merupakan salah satu hikmah yang harus didapat dalam Training "Leadership & Fighting Spirit" berbasis karate.

Masih ada hal yang lain lagi....

Latihan secara terus-menerus dengan MELAKUKAN GERAKAN YANG ITU-ITU JUGA dalam upaya memperbaiki gerakan itu sendiri, tidak dipungkiri menimbulkan RASA BOSAN dalam diri peserta. Tetapi ini juga merupakan HIKMAH yang dapat diambil dalam Training "Leadership & Fighting Spirit" berbasis karate ini : bahwa untuk bisa SEMPURNA, maka harus melakukan LATIHAN BERULANG-ULANG ( = "Practice Makes Perfect"). BERJUANG MENGATASI RASA BOSAN itu merupakan materi yang harus dikuasai oleh peserta, kalau dia ingin menjadi PEMIMPIN YANG HANDAL. Sebab, orang yang MUDAH BOSAN ( = MUDAH MENYERAH) tidak akan menjadi pemimpin yang baik, betapapun berbakatnya dia.

Ir. Budi P., Eko Heri P., SE, dan Syahrizal Firdaus, ST secara bergantian berlatih melancarkan pukulan. "Practice makes perfect". Semua harus dilakukan dengan BERPROSES untuk selalu menjadi lebih baik.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca setia blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati....

Semoga "sharing" ini berguna untuk menambah wawasan kita bersama dalam rangka menemani anak-anak kita, supaya kelak ketika memasuki dunia kerja, anak-anak kita sudah siap dengan PERJUANGAN dalam BERPROSES ketika harus menjalani apa yang disebut sebagai "PARCTICE MAKES PERFECT". Di zaman yang SERBA OTOMATIS ini memang anak-anak kita harus bisa melakukan segala sesuatunya dengan SERBA CEPAT dengan menggunakan TEKNOLOGI yang ada. Akan tetapi, jangan sampai hal itu diartikan bahwa anak-anak kita BOLEH MUDAH BOSAN ! Anak-anak harus ditemani untuk bisa MENANG DALAM MENGALAHKAN RASA BOSAN yang muncul di dalam dirinya sendiri.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".



-----oOo-----



Film, foto, dan tulisan oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi psikologi industri, praktisi karate, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah karyawati perusahaan dan praktisi karate. Agatha adalah murid SMA dan praktisi karate.

Sabtu, 06 Agustus 2016

Menemani Anak : MENINGKATKAN "FIGHTING SPIRIT" LEWAT BELADIRI PRAKTIS


Rini Nur Kusumaningrum, SE sedang latihan menyerang dengan siku kanan


Meningkatkan "fighting spirit" dengan latihan pukulan menggunakan telapak tangan


Eka Islamawati, SE sedang latihan memukul dengan telapak tangan

Peserta sedang latihan beladiri praktis : membenturkan target (simulasi dari kepala lawan) ke lutut

Edisi kali ini relatif menampilkan banyak foto dan film. Ini adalah foto dan film tentang latihan beladiri praktis yang dilakukan pada hari Sabtu tanggal 6 Agustus 2016 untuk sumber daya manusia di sebuah group perusahaan.

* * * * *

Rini Nur Kusumaningrum, SE sedang latihan memukul dengan telapak tangan

Eka Islamawati, SE sedang latihan beladiri praktis : memegang "kepala" lawan (disimulasikan dengan target) kemudian dihantamkan ke lutut


"Fighting spirit" itu tidak datang secara tiba-tiba, tetapi harus melalui proses yang panjang. Disiplin yang tinggi dan latihan secara rutin dan terus-menerus sangat diperlukan untuk melatih diri sendiri supaya memiliki "fighting spirit" yang stabil.


Apa kaitan latihan beladiri praktis ini dengan blog inspirasi pendidikan kreatif ini ?

Begini kaitannya :

Beladiri praktis ini dilakukan selain untuk tujuan melatih kemampuan beladiri (secara praktis) dan olah raga, juga (justru yang terutama) adalah untuk meningkatkan "fighting spirit" yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi semangat juang.

Mengapa "fighting spirit" itu perlu ditingkatkan ?

Karena di era persaingan bisnis yang semakin ketat sekarang ini, "spirit untuk bertarung" ini memang dituntut untuk SELALU MENINGKAT. Jadi, meskipun "fighting spirit" dalam diri seseorang tidak menurun, tetapi karena persaingan bisnis semakin meningkat dan menuntut "fighting spirit" yang semakin tinggi, yang terjadi adalah "fighting spirit" orang itu dikatakan sudah tidak fit (tidak memenuhi tuntutan zaman lagi). Sekali lagi, bukan karena "fighting spirit" di dalam diri orang itu yang menurun, tetapi karena tuntutan lingkungan yang semakin meningkat.

* * * * *

Melatih "fighting spirit" dengan simulasi pertarungan jarak dekat

Memang belum sempurna, tetapi "practice make perfect". Latihan secara rutin akan membuat gerakan semakin sempurna, dan itulah makna dari "fighting spirit" : mendisiplinkan diri untuk mewujudkan yang lebih baik 


Dengan adanya gambaran tentang betapa pentingnya "fighting spirit" ini harus tetap dijaga supaya selalu tinggi dan meningkat, diharapkan para Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak dalam menemani anak-anaknya juga selalu memperhatikan dan menanamkan betapa pentingnya "fighting spirit" ini. Karena bagaimanapun, anak nantinya juga akan memasuki dunia kerja, jadi tidak ada salahnya ditanamkan "fighting spirit" yang tinggi sejak sekarang (setidaknya, sejak anak masih kelas 3 atau 4 Sekolah Dasar).

* * * * * 

Latihan beladiri praktis dengan simulasi pertarungan jarak dekat

Barangkali, ada satu pertanyaan yang muncul, "Mengapa untuk meningkatkan 'fighting spirit' harus dilakukan dengan beladiri praktis ?"

Saya menjawab pertanyaan ini sebagai berikut :

PERTAMA,

Karena "fighting spirit" itu tidak bisa ditingkatkan dengan cara hanya diomongkan atau diceritakan saja. Harus ada kegiatan nyata yang melibatkan aspek FISIK dan juga aspek PSIKIS. Dalam hal ini, beladiri praktis berbasis karate memenuhi kriteria untuk keperluan ini.

KEDUA,

Saya bersama istri (dan juga anak) adalah praktisi karate. Jadi, kami bisa menggunakan karate sebagai metode untuk meningkatkan "fighting spirit" ini, yang sangat berguna dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari.


* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak untuk menanamkan dan meningkatkan "fighting spirit" (bukan dalam arti gemar berkelahi !) yang sangat berguna bagi dirinya kelak ketika memasuki dunia kerja.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----oOo-----


Foto, film, dan tulisan oleh Constantinus J. Joseph. Latihan dipimpin oleh Susana Adi Astuti dan Constantinus J. Joseph.

Constantinus, Susana, dan Agatha adalah praktisi karate. Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO).

Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Senin, 01 Agustus 2016

Menemani Anak : IJAZAH BUKAN SATU-SATUNYA ANDALAN MEMASUKI DUNIA KERJA




Pagi ini saya "ngobrol" dengan anak saya tentang kurikulum beberapa program studi di berbagai universitas. Anak saya sudah kelas 3 SMA dan sudah mulai memikirkan akan kuliah di mana. Dan, seperti saya dulu, belum mempunyai tujuan yang spesifiik.

"Yang penting, disesuaikan dengan minat dan bakat," kata saya. "Jangan ikut-ikutan teman, sebab jalan hidup masing-masing orang berbeda-beda. Tidak harus kuliah di luar kota juga, kalau di kota sendiri ada tempat kuliah yang sesuai minat dan bakat".

* * * * *

Tadi malam saya juga sudah  bercerita kepada anak saya, bahwa ijazah yang didapat dari tempat kuliah (S-1) bukanlah satu-satunya andalan untuk memasuki dunia kerja (entah sebagai karyawan, entah sebagai wirausahawan).

"Pada saat wawancara seleksi penerimaan karyawan baru, pewawancara akan melihat apakah pelamar ini sudah memiliki pengalaman kerja yang membuatnya bersikap dewasa + percaya diri + tangguh, atau tidak," kata saya. "Jadi, kalau selama kuliah sudah bisa sambil kerja, itu ada gunanya. Gunanya adalah membuat orang menjadi dewasa, karena sudah terbiasa mengatasi masalah".

Bagaimana kalau akan menjadi wirausahawan ?

Tentu saja, kerja sambil kuliah juga akan berguna, karena sudah melatih diri sejak masih kuliah. Memang, kalau bisa, yang dirintis sejak masih kuliah adalah yang nantinya dilanjutkan setelah selesai kuliah.

Kalau nantinya menjadi ilmuwan pun sama : melakukan penelitian kecil-kecilan (tetapi rutin) secara mandiri selama kuliah, yang nantinya menambah "skill" sebagai ilmuwa muda.

* * * * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormat,

Zaman memang sudah berubah, dan ijazah sekarang ini memang tetap perlu, tapi bukan satu-satunya andalan untuk memasuki dunia kerja di masa sekarang (apalagi di masa depan). Tujuan hidup, kecerdasan yang fit dengan bidang pekerjaan tertentu, kepribadian yang fit dengan bidang pekerjaan tertentu, dan pengetahuan praktis + ketrampilan praktis + sikap perilaku yang fit dengan bidang pekerjaan tertentu akan sangat menentukan kelancaran dalam memasuki dunia kerja, selain pendidikan formal itu sendiri.


Selamat menemani anak.

"Meneman Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph (praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO)).

Minggu, 31 Juli 2016

Menemani Anak : JANGAN HANYA MENGEJAR "KULIT"-NYA SAJA



Sekitar sebulan yang lalu, saya (seperti biasa) sedang mewawancarai para pelamar kerja untuk mengisi posisi jabatan yang kosong di sebuah perusahaan. Dari sekian banyak pelamar, ada seorang pelamar yang menarik perhatian saya.

Mengapa ?

Karena selain memenuhi syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi, pelamar ini menuliskan di Daftar Riwayat Hidupnya : mengikuti kegitatan karate dan bahkan melampirkan fotokopi sertifikat kelulusan ujian kenaikan tingkat di karate.

Singkat kata, saya mengundang pelamar ini dan melakukan wawancara. Dan, di sini masalah mulai muncul.

PERTAMA,

Meskipun pelamar ini seorang sarjana dan pada berkas lamaran juga disertakan fotokopi ijazah sarjana dan fotokopi transkrip nilai sarjana, ketika saya tanya tentang materi kuliah di mana dia mendapat nilai A, dia menjawab, "Lupa". Padahal, dia belum lebih dari 5 tahun lulus sarjana !

KEDUA,

Pada saat saya tanya tentang warna sabuk karate-nya, dia menjawab, "Biru". Lalu, ketika saya tanya, sabuk karate biru itu dalam aliran karate yang dia ikuti berarti "kyu" (tingkat) berapa, dia bingung menjawabnya. Lalu, dia mulai berusaha mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa sertifikat kelulusan sabuk birunya belum dia ambil dari pengurus karate tempat dia berlatih. Saya menjawab bahwa tanpa memegang sertifikat pun, seorang praktisi karate pasti tahu "kyu" (tingkat / level) berapa dia saat ini.

Selanjutnya, saya menanyakan kepadanya tentang nama 5 (lima) "kata" (jurus) dasar dalam aliran karate yang diikutinya. Dia pun tidak bisa menyebutkan nama-nama itu.

Saya semakin penasaran. Maka, saya meminta dia untuk memperagakan "kata" (jurus) dasar pertama saja. Dan seperti yang sudah saya duga, dia tidak bisa !

* * * * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pecinta blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Tentu saja, pelamar ini tidak akhirnya tidak diterima menjadi karyawan di perusahaan tersebut. Tetapi, bukan tentang itu saya menulis di blog "Holiparent"  kali ini.

Saya dalam edisi kali ini ingin membagikan pengalaman tentang BAHAYANYA mengejar SEKEDAR KULIT tanpa menguasai ISINYA. Yang saya maksud adalah begini : pelamar yang saya ceritakan di atas memang secara LEGAL FORMAL memiliki ijazah dan transkrip nilai sebagai seorang sarjana, tetapi itu hanya KULITNYA saja. Sebab, dia tidak menguasai ISINYA. Dia tidak bisa menjawab pertanyaan tentang mata kuliah di mana dia mendapat nilai A untuk mata kuliah tersebut ! Dalam bidang karate, sama saja. Dia memang secara legal formal memiliki sertifikat dan sabuk, tetapi itu hanya KULITNYA saja. Dia tidak tahu ISINYA : dia itu sudah "kyu" berapa, apa saja nama "kata" yang harus dikuasainya, dan bagaimana memperagakan "kata" tersebut.

Mengapa hal seperti ini bisa terjadi ?

Pengalaman saya sebagai praktisi psikologi industri menunjukkan bahwa ada banyak orang (salah satunya adalah pelamar yang saya ceritakan tadi) yang memang hanya MENGEJAR KULIT, tanpa peduli apakah ISINYA sudah dia kuasai atau belum. Bagi orang-orang ini, yang penting adalah punya ijazah + transkrip nilai + gelar (dan setelah itu tidak berusaha mengingat-ingat lagi ilmu yang seharusnya dikuasainya).  Dalam kasus pelamar tadi, dia pun melakukan hal yang sama dalam bidang karate : yang penting punya sabuk biru (dan setelah itu tidak berusaha mengingat-ingat "kyu" maupun nama "kata" apalagi gerakan "kata" yang seharusnya tetap dikuasainya).

Memang, orang-orang golongan tersebut di atas mempunyai harapan bahwa pada saat melamar kerja, maka penyeleksi akan terpesona dengan segala macam berkas yang disertakannya dalam berkas lamaran. Hal itu memang benar !

Tetapi harus diingat bahwa para penyeleksi sepert saya mempunyai metode untuk mengecek apakah itu semua hanya sebatas KULIT, atau benar-benar dikuasai ISINYA. Sebab, dalam menjalankan pekerjaan nantinya, yang dipakai adalah ISINYA (ilmu / pengetahuan yang sudah dipelajari, yang tidak boleh di-LUPA-kan). Pelamar seperti tersebut di atas juga menunjukkan gejala bahwa dia adalah orang yang TIDAK SUNGGUH-SUNGGUH INGIN MEMPELAJARI SESUATU (dalam hal ini adalah ISINYA), dan sudah merasa puas kalau mendapatkan KULITNYA saja dalam mempelajari sesuatu.

* * * * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Semoga tulisan edisi kali ini semakin membuat kita tambah bersemangat dalam menemani anak-anak kita untuk belajar, dan bukan hanya mengejar KULIT, tetapi juga harus menguasai ISINYA.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Sabtu, 23 Juli 2016

Menemani Anak : Melatih Sikap Mental & Perilaku Fisik untuk Memecahkan Masalah



Ekspresi wajah para trainee yang baru pertama kali melakukan latihan memecahkan masalah (dengan melakukan "tameshiwari")

Seperti biasa, training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan dilaksanakan pada hari Sabtu pagi. Trainee (peserta training) sudah siap pk 06.15. Ada seorang peserta yang harus melakukan perjalanan selama 1 jam lebih.  Artinya, dia harus berangkat dari rumah pk. 05.00. Luar biasa !


* * * * *



"Mengapa kamu sering mengajak trainee (pesera training) melakukan "tamashiwari" ?" tanya sahabat saya, ketika dia tahu bahwa saya mengajak trainee melakukan "tameshiwari" lagi. "Tameshiwari" adalah memecahkan benda-benda untuk latihan, yang dalam training ini diwujudkan dengan memecah genting.

"Meski 'tameshiwari' bukanlah inti dari latihan karate di dojo (tempat latihan karate), tapi sangat berguna untuk membantu meningkatkan sikap mental dan perilaku fisik  para trainee," jawab saya.

Tentu saja, saya menjawab demikian, karena kenyataannya memang begitu.


* * * * *

Seperti biasa, training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan dilaksanakan pada hari Sabtu pagi. Trainee (peserta training) sudah siap pk 06.15. Ada seorang peserta yang harus melakukan perjalanan selama 1 jam lebih.  Artinya, dia harus berangkat dari rumah pk. 05.00. Luar biasa !


* * * * *



"Mengapa kamu sering mengajak trainee (pesera training) melakukan "tameshiwari" ?" tanya sahabat saya, ketika dia tahu bahwa saya mengajak trainee melakukan "tameshiwari" lagi. "Tameshiwari" adalah memecahkan benda-benda untuk latihan, yang dalam training ini diwujudkan dengan memecah genting.

"Meski 'tameshiwari' bukanlah inti dari latihan karate di dojo (tempat latihan karate), tapi sangat berguna untuk membantu meningkatkan sikap mental dan perilaku fisik  para trainee," jawab saya.

Tentu saja, saya menjawab demikian, karena kenyataannya memang begitu.


* * * * *



Dalam training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat", "tameshiwari" bukanlah semata-mata para trainee (peserta training) memecah genting satu, dua, tiga, atau bahkan empat, lima, atau enam, atau tujuh lapis. Sebagai training kepemimpinan yang berbasis karate, para trainee diberikan pengarahan bahwa "tameshiwari" adalah sama seperti ketika mereka menghadapi masalah yang harus DIPECAHKAN di tempat kerja. Saya mengatakan kepada para trainee sebelum mereka melakukan "tameshiwari", PERTAMA-TAMA mereka harus mempunyai niat untuk MEMECAHKANNYA !

Yang KEDUA, mereka harus MENDEKATI, MENYENTUH, MENGENALI, MENGAKRABI dengan sungguh-sungguh apa yang harus DIPECAHKAN itu (kalau di sini : genting; kalau di tempat kerja : masalah kerja).

Yang KETIGA, mereka harus MENSUGESTI diri mereka sendiri bahwa masalah ini MUDAH DIPECAHKAN. Dalam training ini : genting; kalau di tempat kerja : masalah. Saya mengatakan kepada para trainee supaya mensugesti diri masing-masing bahwa genting itu serapuh kerupuk ! Dengan demikian, maka mudah dipecahkan !

Yang KEEMPAT, setelah tahap pertama, kedua, ketiga dilakukan, maka yang harus dilakukan saat akan memecah genting (atau memecahkan masalah kalau di tempat kerja) adalah KONSENTRASI PENUH PERCAYA DIRI (FOKUS TANPA RAGU SEDIKITPUN). Maka, pecahlah genting itu !


* * * * *

"Tapi TEKNIK-nya harus benar, ya ?" tanya sahabat saya.

"Ya," jawab saya.

"Kesiapan MENTAL dan FISIK harus baik, ya ?" tanya sahabat saya lagi.

"Ya," jawab saya. "Harus percaya diri dan antusias ! Tentu saja, harus berdoa !"

"Kalau untuk trainee pemula, boleh memecah genting satu dulu, ya ?" tanya sahabat saya.

"Ya," jawab saya. "Satu dulu, kemudian meningkat secara bertahap. Begitu juga kalau memecahkan masalah di perusahaan : belajarlah memecahkan masalah yang sederhana dulu, kemudian secara bertahap meningkat menjadi memecahkan masalah yang lebih sulit. Bertahap. Disiplin melatih diri !"

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati swasta. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Rabu, 20 Juli 2016

Menemani Anak : Foto "Keren" Anak / Orang Muda dengan Memakai Karate Gi (Pakaian Karate)






"Siapa bilang foto memakai pakaian karate tidak keren ?" begitu kata saya setiap kali melihat anak-anak / orang muda foto / "selfie" dengan memakai pakaian karate.

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa bagi anak / orang muda saat ini, "keren" atau "tidak keren" menjadi salah satu pertimbangan penting untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (termasuk : training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang berbasis karate). Terlebih lagi, sekarang ini "smartphone" dilengkapi kamera yang memudahkan berfoto ria di manapun juga, tidak terkecuali sebelum atau sesudah training sikap mental & perilaku fisik berbasis karate dilakukan. Dan, foto-foto ini akan cepat sekali menyebar / disebarkan di berbagai media sosial, karena teknologi "smartphone" memang memungkinkan untuk itu. Semakin anak / orang muda menilai bahwa foto dirinya (dengan memakai pakaian karate) adalah "keren", semakin banyak dia menyebarkan foto itu di berbagai media sosial. Dan, semakin teman-temannya di media sosial juga melihat bahwa foto itu memang "keren", maka foto itu akan disebarkan di media sosial dengan lebih luas lagi.

* * * * *




"Kamu melihat bahwa media sosial memang mendukung sosialisasi training ini, ya ?" tanya sahabat saya.

"Mau tidak mau, inilah gaya hidup anak / orang muda sekarang yang sangat kental dengan teknologi dan media sosial," jawab saya. "Kita harus menerimanya, dan memanfaatkannya untuk kebaikan lebih banyak orang. Bukankah kegiatan training ini merupakan kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat ?"

Sahabat saya mengangguk-anggukkan kepala, tanda setuju.

* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan training yang "keren", menyenangkan, dan bermanfaat. Selamat menemani anak dengan karate.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----




Tulisan oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia. Foto koleksi Wahyu Dian Saputri.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati swasta. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Menemani Anak : MEMBAGIKAN HAL YANG MEMBAHAGIAKAN & BERGUNA


"Apa yang menarik dari memberikan training sikap mental & perilaku fisik untuk kepemimpinan, yang berbasis karate ?"

Setiap kali saya mendapatkan pertanyaan (semacam) itu, saya selalu menjawab, "Melihat senyum kebahagiaan peserta training ketika saya mengajarkan cara mengikat sabuk warna putih kepada mereka".

* * * * *

Ya, memang benar, bahwa saya selalu merasa ikut berbahagia ketika melihat senyum yang mengembang dan mata yang berbinar ketika peserta training untuk pertama kalinya (belajar) memakai sabuk berwarna putih. Dan inilah yang (memang) membuat saya tertarik untuk terus mengajarkan sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan. Ada sekian banyak kegembiraan dan kebahagiaan peserta yang bisa ikut saya rasakan. 

Sungguh, melihat orang berbahagia itu membuat saya ikut jadi berbahagia juga. Saya mendapatkan ide ini dari para penjual sepeda anak-anak. Setiap kali saya ke toko sepeda (membeli sepeda untuk saya, istri saya, anak saya, dan keponakan saya; jadi saya memang punya langganan toko sepeda), saya selalu memperhatikan anak-anak yang dengan gembira memandang jajaran sepeda yang dijual (dan mereka akan dibelikan satu oleh orang tua mereka). Saya berkali-kali berkata kepada anak dan istri saya, orang berjualan sepeda itu sekaligus membagikan kebahagiaan kepada anak-anak itu, dan otomatis kepada orang tuanya juga. 

Memang, saya sampai saat ini tidak berjualan sepeda anak-anak, dan tidak bisa membagikan kebahagiaan kepada anak-anak dan orang tuanya dengan berjualan sepeda. Tetapi dengan training sikap mental & perilaku fisik untuk kepemimpinan yang berbasis karate ini, saya bisa melakukan hal yang sama : membagikan kebahagiaan kepada para peserta (dan orang tua mereka).

* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan kegiatan yang membahagiakan mereka dan sekaligus berguna untuk sikap mental & perilaku fisik mereka.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia. Foto oleh Tim Training "Tekad Kuat".

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati swasta. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.





Selasa, 19 Juli 2016

Menemani Anak : SEGERA MENJALANKAN APA YANG DIRENCANAKAN


"Bagaimana cerita terbentuknya training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang berbasis karate ini ?"

Ternyata ada juga yang penasaran, ingin tahu tentang hal ini. Dan karena saya melihat bahwa cerita terbentuknya training ini juga mengandung hikmah yang baik, maka saya akan menceritakan bagaimana terbentuknya training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan ini.

Training ini lahir karena obrolan yang singkat dan santai tetapi memang mendalam tentang apa yang bisa dilakukan bagi generasi muda di saat godaan untuk tertular sikap dan perilaku manja / serba mudah ada di mana-mana.

Obrolan ini saya lakukan dengan para asisten saya, yang semuanya adalah praktisi human resources di perusahaan swasta. Mereka ini tahu banyak tentang bahayanya orang-orang muda yang sejak kecil sudah dimanjakan dengan kemudahan dalam segala hal, sehingga daya juang-nya rendah.

Selain itu, obrolan juga saya lakukan dengan istri dan anak saya. Mereka ini adalah orang yang ----- menurut saya dan teman-teman karate saya ----- memang mencintai karate. Dengan merekalah, saya melihat kenyatakaan bahwa anak muda yang menyukai karate sekarang ini tidak sebanyak ketika saya masih remaja di tahun 1980-an. Memang, sekarang ini ada banyak sekali "game" di komputer / notebook / gadget yang lebih disukai oleh anak-anak dan remaja. Namun demikian, melihat bahwa karate ini berguna dalam membangun sikap mental dan perilaku fisik, saya bersama istri dan anak melihat bahwa orang muda seharusnya tetap dikenalkan dengan karate.

Inilah sebabnya, saya mengakatakan obrolan ini singkat dan santai : tidak ada rapat formal, semuanya menyenangkan karena itu merupakan bidang keahlian dan minat kami. Tetapi, saya juga mengatakan bahwa dilakukan secara mendalam. Mengapa ? Karena yang membahas adalah orang yang memang tahu dan mencintai hal itu (di satu pihak : praktisi human resources; di lain pihak : praktisi karate). Kebetulan saya sendiri adalah praktisi psikologi industri (yang menjadi praktisi human resources sejak 14 tahun yang lalu) dan juga praktisi karate (yang berlatih sejak usia 19 tahun; istri saya juga berlatih karate sejak usia 19 tahun, sedangkan anak saya berlatih karate sejak umur 8 tahun).

Pada hari Sabtu tanggal 29 Agustus 2015, dimulailah training sikap mental dan perilaku fisik yang pertama kali, dengan basis karate. Semuanya dijalankan dengan doa dan rencana secukupnya saja. Disebut secukupnya, karena yang penting sudah ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu meningkatkan sikap mental & perilaku fisik. Yang menjadi peserta pun adalah yang selama ini terlibat dalam pembahasan tentang training ini. Yang penting adalah : segera menjalankan apa yang sudah direncanakan, tidak usah menunggu perencanaan itu menjadi benar-benar sempurna. Sebab, manusia itu memang tidak sempurna, dengan demikian apapun yang dikerjakannya juga tidak sempurna. Tetapi, justru dari kesadaran inilah, sambil tetap menjalankan training, selalu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan, sehingga selalu menjadi lebih baik.


* * * * *

Ibu-ibu dan bapak-bapak pembaca blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang terhormat,

Semoga cerita tentang lahirnya training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang berbasis karate ini berguna untuk menambah wawasan kita bersama.

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dalam ketidaksempurnaan kita sebagai manusia, tetapi selalu berdoa dan mengupayakan supaya selalu menjadi lebih baik.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".


-----oOo-----




Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.


Senin, 18 Juli 2016

Menemani Anak : Perlunya Training Sikap Mental & Perilaku Fisik (Contoh Praktis)



"Mengapa sikap mental & perilaku fisik itu perlu dilatih lewat training berbasis karate ?"

Saya tidak heran kalau ada orang tua yang bertanya demikian, sebab memang di saat ini masih banyak orang yang belum sepenuhnya memahami bahwa sikap mental & perilaku fisik cenderung melemah, justru ketika segala sesuatunya sudah serba mudah / serba praktis. Banyak orang (terutama orang muda yang lahir di tahun 1990-an atau setelahnya) yang menjadi "tidak sabaran" / inginnya serba cepat & mudah, dan karena itu cenderung mudah mengeluh / kegigihannya menurun (meskipun ----- tentu saja ----- tidak semua orang muda seperti ini). Mereka lebih suka "hura-hura" dan kurang familiar denga  yang namanya "prihatin" (termasuk prihatin dalam menempa sikap mental & perilaku fisiknya).



Ibu-ibu dan bapak-bapak pembaca setia blog inspirasi pendidikan kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Profesi saya sebagai seorang praktisi psikologi industri-lah yang menyadarkan saya : betapa sikap mental & perilaku fisik yang kuat harus semakin ditempa, di tengah-tengah gaya hidup orang muda / remaja / anak-anak yang serba mudah & praktis ini. Mereka harus disadarkan bahwa semua alat yang canggih itu adalah semata-mata alat bantu saja. Misalnya, sepeda motor atau mobil. Memang, demi mobilitas / aktivitas yang tinggi, tidak dipungkiri bahwa perlu naik sepeda motor / mobil. Tetapi yang harus ditanamkan ----- lewat training sikap mental & perilaku fisik ----- adalah : jangan sampai ketika sepeda motor / mobil mendadak rusak, seolah-olah semua mobilitas / aktivitas tidak dapat dilakukan. Ingat ! Setiap orang masih mempunyai kaki untuk berjalan ----- setidaknya berjalan me halte bus ----- untuk naik bus ke tempat tujuan. Memang, berjalan kaki itu lebih melelahkan (bagi yang sikap mental & perilaku fisiknya tidak lernah dilatih !), apalagi di bawah panas terik matahari (atau guyuran hujan, meskipun sudah memakai payung); belum lagi selama perjalanan di dalam bus juga harus berdiri terus ! Aduh, betapa lelah kakinya ! (sekali lagi, bagi yang sikap mental & perilaku fisiknya tidak pernah dilatih).

Tetapi, bagi orang (muda maupun tua) yang sikap mental & perilalu fisiknya terlatih, kegiatan seperti itu bisa dipandang sebagai kesempatan untuk berolah raga (ha...ha...ha... !) meskipun harus bangun lebih pagi dan berjalan cepat / berlari-lari supaya tidak terlambat !

* * * * *



Lalu, mengapa harus menggunakan basis gerakan dasar karate ?

Ya supaya tidak salah dalam memberikan training !

Sebagaimana diketahui bersama, training sikap mental & perilaku fisik tidak bisa diberikan secara sembarangan : kalau terlalu ringan maka tidak ada "impact-nya", kalau terlalu berat maka bisa berbahaya untuk kesehatan tubuh (keseleo, memar, luka-luka, dan sebagainya). Intinya, training ini harus "cukup" berat / keras, tetapi dilalukan secara teratur, bertahap, dan terukur; bahkan untuk peserta yang satu dan peserta yang lain tidak bisa disamakan begitu saja.

Karate mempunyai gerakan-gerakan dasar yang sistematis dan mudah diukur, meskipun tantangannya berat. Karena saya adalah seorang praktisi karate, maka saya tahu tentang hal ini ----- termasuk apa perenungan / hikmah yang bisa diambil, kalau dikaitkan dengan pekerjaan sehari-hari & dunia kerja ----- dan saya menilai bahwa gerakan-gerakan dasar karate sangat telat ----- dan terbukti efektif dalam training yang sudah saya jalankan ----- untuk meningkatkan sikap mental & perilaku fisik. Memang, "ilmu" yang saya gunakan bukan hanya karate saja, tetapi juga psikologi. Tentu saja, sebagai sebuah training, kepada setiap peserta harus saya lakukan evaluasi 4 tingkatan sebagaimana dikemukakan oleh Kirkpatrick, yaitu : (1) training ini harus menyenangkan / membanggakan peserta (meskipun sulit dan penuh tantangan; di sinilah seni / keahlian yang harus dimiliki oleh trainer), (2) training ini harus membawa perubahan yang lebih baik bagi peserta pada saat sudah mengikuti training (setiap kali selesai training, dilakukan evaluasi perkembangan peserta; untuk itu digunakan foto maupun video sebagai bukti dokumentasi training / untuk keperluan evaluasi), (3) setelah mengikuti training ini, peserta dalam kehidupan sehari-hari (maupun di tempat kerja) menunjukkan adanya peningkatan / kemajuan dalam hal sikap mental & perilaku fisiknya, (4) peserta memang pada saat yang sudah ditentukan / direncanakan memang menunjukkan sikap mental yang diharapkan & perilaku fisik yang diharapkan (percaya diri, berani, fisiknya kuat, menjalankan tugas pekerjaan yang berat secara mental maupun fisik tanpa mengelu & tetap sehat, dan sebagainya).

* * * * *



Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak untuk meningkatkan sikap mental & perilaku fisiknya.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan kaeyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Minggu, 17 Juli 2016

Menemani Anak : Tentang Training Sikap Mental & Perilaku Fisik Kepemimpinan yang Berbasis Karate



Masih tentang training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan yang dilakukan dengan basis karate. Beberapa orang yang sudah dewasa mengajukan pertanyaan kepada saya (untuk dirinya sendiri maupun untuk anak-anaknya yang masih SD / SMP / SMA / kuliah) : apa perbedaan training ini dengan latihan karate di "dojo" (tampat latihan karate) yang "standar".

Saya menjelaskan bahwa perbedaan PERTAMA adalah pada waktu latihannya. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat" ini hanya dilakukan seminggu sekali @ 1 jam saja. Adapun latihan karate "standar" di "dojo" dilakukan seminggu 2 kali @ 2 jam.

Perbedaan KEDUA ada pada tujuannya. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat" ini bertujuan untuk mengasah sikap mental & perilaku fisik yang merupakan aspek penting dalam kepemimpinan; dengan demikian, ini merupakan training psikologi untuk kepemimpinan. Adapun latihan karate "standar" di "dojo" bertujuan untuk kegiatan beladiri dan olah raga (termasuk : mengikuti turnamen / pertandingan).



Perbedaan KETIGA ada pada materi yang diberikan. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan "Tekad Kuat" memberikan hanya gerakan-gerakan dasar dari karate, untuk keperluan meningkatkan sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan; dengan demikian tidak diberikan materi tentang "kata" (jurus). Pada latihan karate "standar" di "dojo", diberikan materi tentang "kihon" (gerakan dasar), "kata" (jurus), maupun "kumite" (pertarungan).

Perbedaan KEEMPAT ada pada orientasi sistem. Training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan"Tekad Kuat" ini berorientasi pada sistem training psikologi industri (kepemimpinan) maupun training manajemen (bandingkan dengan Training "Six Sigma" yang menggunakan level "green belt" dan "black belt"). Adapun latihan karate "standar" di "dojo" menggunakan sistem dari salah satu aliran karate yang ada di Okinawa / Jepang.



Namun demikian, orang dewasa / remaja / anak yang mengikuti training sikap mental & perilaku fisik "Tekad Kuat" diharapkan mulai mengenal dan semakin mencintai karate, sehingga cepat atau lambat ingin ikut latihan karate "standar" di "dojo". Diharapkan, pada saat mengikuti latihan karate yang "standar" di "dojo", maka pengalaman mengikuti training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan akan banyak membantu, karena basis yang diberikan dalam training sikap mental & perilaku fisik ini adalah gerakan dasar karate.

* * * * *





Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dalam meningkatkan sikap mental & perilaku fisik kepemimpinannya, dengan training berbasis karate.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardina Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.

Sabtu, 16 Juli 2016

Menemani Anak : Hikmah dari Training Sikap Mental & Perilaku Fisik Kepemimpinan yang Berbasis Karate



Ada yang selalu menarik dari "perjalanan" memberikan training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan dengan basis karate. Para peserta yang berstatus karyawan perusahaan dengan penuh semangat mengikuti training yang diberikan dalam waktu 1 (satu) jam seminggu sekali, sebanyak 28 (dua puluh delapan) kali pertemuan.

Training sikap mental &  perilaku fisik kepemimpinan pagi ini (Sabtu, 16 Juli 2016) diisi dengan "latihan pemanasan" kemudian dilanjutkan dengan dasar-dasar tendangan ke depan. Para peserta mengikuti training yang diberikan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat (termasuk dua orang peserta yang baru ikut training untuk pertama kalinya).

Karena kegiatan ini adalah training sikap mental & perilaku fisik kepemimpinan, maka para peserta dijelaskan tentang FILOSOFI dari materi gerakan tendangan ke depan ini.



PERTAMA,
Para peserta merasakan dan mengakui bahwa melakukan tendangan ke depan kelihatannya mudah, tetapi ketika mempraktekkannya sendiri ternyata sulit.



Makna yang dipelajari : segala sesuatunya harus dipelajari langkah demi langkah, meskipun kelihatannya sederhana / mudah.



KEDUA,
Peserta yang pada awalnya belum bisa, setelah mempraktekkan dengan didampingi / diarahkan oleh trainer / asisten trainer, ternyata ada kemajuan / mulai bisa.



Makna yang dipelajari : mempelajari sesuatu itu perlu bertanya / melihat contoh dari orang yang sudah / lebih bisa; artinya, harus ada kesadaran diri dan kerendahan hati bahwa kita memang harus mau belajar dari orang lain yang lebih pandai / ahli.



* * * * *



Semoga tulisan hari ini dapat menginspirasi para ibu dan ayah dalam menemani anak-anaknya.

Selamat menemani anak dengan sikap mental dan perilaku fisik kepemimpinan yang baik.



"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----



Tulisan dan foto oleh Constantinus J. Joseph, Susana Adi Astuti, dan Bernardine Agatha Adi Konstantia.

Constantinus adalah praktisi karate, praktisi psikologi industri, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Susana adalah praktisi karate dan karyawati perusahaan. Agatha adalah praktisi karate dan murid SMA.