Minggu, 22 Februari 2015

RASA MALU = HAMBATAN DALAM BELAJAR




Keponakan saya yang tinggal di luar kota (saya tinggal di Semarang) sekarang ini duduk di kelas II Sekolah Dasar. Tetapi dia belum bisa naik sepeda. Ketika ibunya sedang meneruskan pendidikan di Semarang, keponakan saya ikut ke Semarang dan sekolahnya pindah ke Semarang. 

Sepulang dari sekolah di Semarang, dia belajar naik sepeda. Pada hari keempat dia belajar naik sepeda, keponakan saya sudah mahir bersepeda. Padahal selama lebih dari satu tahun di tempat tinggalnya, dia tidak bisa naik sepeda. 

Kenapa ? Karena dulu dia TIDAK BELAJAR naik sepeda !

* * *

"Kenapa kamu di rumahmu sendiri tidak bisa naik sepeda ?" tanya saya kepada keponakan saya.

"Saya malu," jawabnya.

"Malu kepada siapa ?"

"Malu dengan teman-teman".

"Kenapa ?"

"Karena aku sudah besar tapi belum bisa naik sepeda".

"Memangnya teman-temanmu di sana semua sudah pandai naik sepeda ?"

"Iya. Yang lebih kecil dari aku juga sudah bisa naik sepeda".

"Kenapa di Semarang kamu tidak malu belajar naik sepeda ?" tanya saya.

"Karena di sini aku tidak kenal mereka, jadi aku tidak malu," kata keponakanku.

* * *

Ibu - Ibu dan Bapak - Bapak Yth.,

Apa yang saya "sharing"-kan lewat tulisan kali ini sebenarnya adalah renungan bagi kita bersama.

Pertama, RASA MALU bisa menghambat proses belajar anak. Kita sebagai orang tua HARUS bisa MENGENALI rasa malu yang ada dalam diri anak (yang menyebabkan proses belajar anak terhambat, entah dalam hal belajar naik sepeda atau belajar apapun juga).

Kedua, ketika tidak ada rasa malu dan anak mulai belajar, maka KEMAJUANNYA TERLIHAT PESAT. Dalam hal ini, orang tua harus bisa menjadi teman bagi anak, supaya anak merasa DIAKUI KEBERHASILANNYA.

* * *

"Apa senjata paling ampuh untuk mengalahkan singa ?" tanya saya kepada keponakan saya itu. Siang itu, kami sedang main tebak-tebakan.

Seperti diduga, keponakan saya menyebut bermacam-macam senjata. Pedang dan pistol adalah yang disebutnya.

"Bukan....," kata saya sambil tersenyum.

"Terus jawabannya apa ?" tanya keponakan saya dengan penasaran.

"Penghapus," kata saya, dengan wajah serius.

"Kok bisa ?" tanya keponakan saya dengan tambah penasaran.

"Iya. Kalau singanya datang, kedua matanya kita hapus dengan penghapus. Maka singa itu tidak bisa melihat. Kemudian, ketika singa itu sedang bingung karena tidak bisa melihat, giliran mulutnya kita hapus. Maka singa itu tidak bisa menggigit," jawab saya.

"Ha....ha....ha....," keponakan saya tertawa,

Saya masih melanjutkan, "Setelah itu, kaki kiri depan dan kaki kiri belakang kita hapus juga. Maka singa itu akan bingung kalau mau berjalan".

"Ha....ha....ha....," keponakan saya tertawa tambah keras.

Saya ikut tertawa.

* * *

Keakraban dengan anak memang sangat perlu (dalam hal ini : saya dengan keponakan saya yang masih kelas II SD).

Keakraban ini bisa dibangun dengan lelucon-lelucon seperti ini, supaya anak merasa bahwa kita adalah sahabatnya. (Namun, kita tetap harus tegas dan memegang prinsip ketika mengharuskan anak belajar pada waktunya. Dengan demikian, ada KESEIMBANGAN antara "akrab sebagai sahabat" sekaligus "berwibawa dalam memberikan pengarahan". Keponakan saya "segan" kepada saya, karena di satu pihak saya yang menyiapkan sepedanya, di lain pihak saya bersikap tegas ketika mengharuskan dia tidak boleh  nonton televisi ketika sedang belajar).

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Anggota Himpunan Psikologi Indonesoa dan Anggota Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Mahasiswa Magister Profesi Psikologi di Unika Soegijapranata.

SELALU MEMBAWA ALAT UNTUK MENANGKAP IDE YANG LEWAT





Banyak yang bertanya kepada saya, "Di mana kamu menulis ?"

Saya jawab dengan sejujurnya, "Di mana saja".

Lalu, ada lagi yang bertanya kepada saya, "Dengan apa kamu menulis ?"




Saya jawab (lagi-lagi) dengan sejujurnya, "Dengan apa saja". Maksud saya, saya bisa menulis artikel atau materi training atau sistem manajemen sumberdaya manusia dengan "smartphone" (kalau saya sedang bawa "smartphone"), dengan "handphone QWERTY" saya (kalau saya sedang membawa "handphone" QWERTY), atau dengan "tablet" ukuran 10 inchi (kalau saya sedang membawa "tablet" ukuran 10 inchi lengkap dengan "wireless keyboard"-nya), atau dengan "laptop" (kalau saya sedang membawa "laptop"). 





Demikian pula, foto-foto ilustrasi tulisan saya juga saya buat sendiri, karena itu (tidak jarang) saya membawa kamera DSLR.




* * *

Pada kenyataannya, saya biasanya membawa minimal dua alat untuk menulis. Misalnya, "smartphone" dan "tablet" 10 inchi, "smartphone" dan "laptop"; atau "smartphone" dengan "handphone" QWERTY. Alasannya sederhana : kalau saya kehabisan baterei di salah satu "alat tulis" yang saya bawa, saya masih punya "alat tulis" satu lagi (yang saya bawa). Ini semua "menjamin" bahwa ide yang melintas KAPAN PUN akan saya TANGKAP dengan alat tulis yang saya bawa saat itu. Atau, ketika saya sedang MENUNGGU seseorang atau suatu acara (termasuk menunggu film bioskop diputar), saya bisa mengetik di kafe atau di "lobby" bioskop atau bahkan di dalam mobil saya (yang sedang saya parkir).

* * *

"Wah, kamu niat banget bawa-bawa alat-alat elektronik buat menulis di perjalanan," begitu kira-kira komentar beberapa orang yang saya beri tahu tentang bagaimana saya bisa menulis di mana saja.

"Saya hanya mengisi waktu luang di perjalanan, makanya saya membawa alat-alat tulis," jawab saya, apa adanya. "Lagi pula, kalau saya menunggu sampai rumah baru menulis, ide biasanya sudah sudah lewat dan tulisan justru tidak selesai".

* * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua orang harus membawa alat tulis (elektronik) ke mana saja mereka pergi, supaya bisa langsung menuliskan ide-ide yang muncul (di setiap saat, di sembarang tempat). Tetapi saya ingin men-sharing-kan hal ini : bahwa supaya orang bisa produktif menulis, maka dia harus siap sedia setiap saat untuk menuliskan ide yang muncul dengan alat tulis elektronik yang dia punya. 

Prinsipnya, kalau ingin PRODUKTIF, maka harus SIAP SEDIA SETIAP SAAT untuk menangkap dan menuliskan ide yang muncul.

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----oOo-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus  Johanna Joseph. Anggota Himpunan Psikologi Indonesia dan Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.

Teh Uwuh dan Teh Serai




Teh Uwuh dan Teh Serai. Kedua jenis minuman teh ini mungkin bagi banyak orang sudah sangat familiar. Tetapi bagi saya, saya mengenal keduanya di Tea House dan Tea Bar "Tong Tji".

* * *

Saya dengan Agatha dan Usie (anak dan istri saya) memang sengaja mampir ke Tea House atau Tea Bar "Tong Tji" bukan pertama-tama karena ingin makan atau minum. Tetapi (biasanya) karena kaki kami pegal setelah jalan-jalan keliling mall, dan sengaja mencari tempat duduk. Maka, jadilah kami ke Tea House atau Tea Bar "Tong Tji".

Memang, Bapak William dari "Tong Tji" adalah rekan pengurus APIO (Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi) Kota Semarang, dan kami sama-sama Sarjana Psikologi. Tetapi ke-mampir-an saya dan keluarga (memang pertama-tama) karena mencari tempat duduk di mall.

* * *

Ini bukan tulisan promosi. Bahkan (mungkin) Bapak William tidak tahu kalau saya menulis tentang Tea House dan Tea Bar "Tong Tji". Tetapi tidak apa-apa. Tujuan saya memang bukan untuk mempromosikan Tea House atau Tea Bar "Tong Tji" atau untuk memberitahu Bapak William tentang "saya sering mampir di Tea House atau Tea Bar-nya". Tujuan saya adalah men-sharing-kan apa yang saya dan keluarga alami dengan mampir ke Tea House dan Tea Bar "Tong Tji".
Kami (saya, Agatha, Usie) sepakat bahwa Tea House dan Tea Bar "Tong Tji" adalah suatu terobosan bisnis yang cerdas. Di Kota Semarang, Tea House dan Tea Bar "Tong Tji" adalah pelopor dalam hal tempat duduk dan makan camilan sambil minum teh (yang dimiliki oleh sebuah produsen teh, yaitu "Tong Tji").

Di Tea House dan Tea Bar "Tong Tji", minuman teh disajikan dengan berbagai macam variasi, misalnya (kesukaan saya) adalah Teh Uwuh dan Teh Serai.
Wedang Uwuh dan Wedang Serai sendiri sebenarnya adalah nama minuman tradisional di Jawa. Namun, "Tong Tji" mengombinasikannya dengan teh (karena dia adalah produsen teh).

"Dengan disajikan sebagai Teh Uwuh atau Teh Serai, minuman teh ini jadi tampil beda, dan bisa dijual dengan harga lebih tinggi tetap tetap terjangkau dan konsumen suka," kata saya kepada Agatha.

Sebagai seorang penjual bakso sapi dengan merk "Raja Rasa" ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar Pangudi Luhur "Bernardus" kelas VI (saat ini Agatha duduk di kelas X SMA Kolese Loyola Semarang), Agatha memang akrab dengan ide-ide kreatif pemasaran.



Sambil duduk-duduk membaca buku, kami bisa ngobrol banyak tentang Tea House dan Tea Bar "Tong Tji" yang bisa menarik pengunjung menjadi pelanggan (termasuk kami sekeluarga) karena "kecanduan" bukan hanya minumannya, tetapi tentu saja tempat duduknya (setelah lelah berjalan-jalan).

Pertanyaannya adalah : kenapa Tong Tji, kenapa bukan yang lain yang membuat Tea House atau Tea Bar seperti ini di Semarang ?

Ya. Itulah yang disebut kreativitas yang DIWUJUDKAN menjadi suatu inovasi. Mungkin saja, ide kreatif membuat Tea House atau Tea Bar juga sudah dipikirkan oleh produsen lain, tetapi yang berani BERTINDAK MEWUJUDKAN adalah "Tong Tji".

* * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Itulah renungan kita bersama kali ini : IDE KREATIF kalau tidak DITINDAKLANJUTI / DIWUJUDKAN hanya akan berhenti sebatas ide kreatif saja, sedangkan siapa yang CEPAT MEWUJUDKAN akan menjadi pelopor INOVASI (setidaknya, yang pertama MENANGKAP PELUANG yang ada).

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----


Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Anggota Himpunan Psikologi Indonesia dan Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan  Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Mahasiswa Profesi Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata.

Rabu, 04 Februari 2015

BELAJAR ALA FINLANDIA (SEKEDAR TAHU)



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca Blog Inspirasi Pendidikan Kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Pagi ini saya sedang membuka akun Facebook saya (Si Jurai Constantinus), dan saya menemukan sebuah tulisan yang ditautkan oleh seorang teman, yang menurut saya menarik untuk kita simak. Tentu saja, tidak berarti kita bisa langsung meniru 100% apa yang tertulis di situ, tetapi bisa menambah keyakinan kita bahwa dalam proses belajar, anak harus dalam suasana GEMBIRA dan JUSTRU BANYAK BERMAIN, meskipun MENGHAFAL JUGA PERLU.

Tulisan ini dibuat oleh Ibu Hardiana Noviantari pada tanggal 5 Desember 2014 dengan judul SEKOLAH CUMA 5 JAM, TANPA PR & UJIAN NASIONAL, KENAPA PELAJAR DI FINLANDIA BISA PINTAR ?

Sekali lagi, ini tidak otomatis 100% bisa kita tiru begitu saja, karena secara GENETIS / FAKTOR KETURUNAN bisa saja berbeda, dan secara PROSES BELAJAR SOSIAL / KEHIDUPAN SEHARI-HARI DI KELUARGA DAN MASYARAKAT juga bisa saja berbeda.

PERTAMA,

Di Finlandia, anak baru boleh bersekolah setelah usianya 7 tahun.

KEDUA,

45 menit belajar, 15 menit istirahat.

KETIGA,

Semua sekolah negeri bebas biaya, sekolah swasta juga diawasi ketat agar tetap terjangkau masyarakat.

KEEMPAT,

Semua guru dibiayai kulias sampai lulus Master. Gaji guru merupakan salah satu yang tertinggi di Finlandia.

KELIMA,

Guru adalah orang yang paling tahu bagaimana cara mengevaluasi murid-muridnya, karena itu Ujian Nasional tidak diperlukan.

KEENAM,

Murid SD-SMP hanya belajar 4-5 jam sehari. Ketika sudah SMP dan SMA, mereka belajar seperti mahasiswa kuliah (hanya datang pada jam pelajaran yang mereka PILIH; mereka tidak datang karena TERPAKSA).

KETUJUH,

Tidak ada ranking siswa di sekolah.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang terhormat,

Itulah sharing tentang pendidikan di Finlandia. Untuk membaca tulisan selengkapnya, silakan membuka www.hipwee.com dengan judul SEKOLAH CUMA 5 JAM, TANPA PR & UJIAN NASIONAL, KENAPA PELAJAR DI FINLANDIA BISA PINTAR ?

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----