Minggu, 26 Juli 2015

Menemani Anak : BUKAN ASAL KERJA


Ada kalanya kita sebagai orang tua mendapatkan bahan ngobrol dengan anak dari peristiwa yang tidak terduga. Salah satunya adalah ini.

Hari Sabtu tanggal 4 Juli 2015 kami sekeluarga (Susan, Agatha, dan saya) sedang di Jakarta. Malam itu, kami berencana makan di salah satu rumah makan di kawasan Tamini Square, dekat Taman Mini Indonesia Indah. Ada rumah makan yang memasang tulisan dengan ukuran besar : Ikan Patin Bakar Bambu. Ini menarik perhatian dan minat kami.

Ketika kami masuk di rumah makan tersebut, sudah tidak ada meja yang kosong. Seorang pelayan memberitahu kami untuk menunggu sebentar, karena semua pengunjung yang saat itu memenuhi rumah makan tersebut sebentar lagi pulang, sebab mereka sudah selesai acara buka puasa bersama.

Tetapi karena kami sekeluarga melihat betapa penuh sesaknya rumah makan itu, dengan diam-diam kami keluar dari rumah makan itu jalan kaki hendak mencari rumah makan yang lain saja.

Tanpa kami duga, kami dipanggil-panggil oleh pelayan rumah makan Ikan Patin Bakar Bambu ini, padahal saat itu kami sudah jalan kaki cukup jauh hampir sampai di jalan raya. Rupanya, pelayan rumah makan Ikan Patin Bakar Bambu ini senantiasa mengawasi kami, sambil sungguh-sungguh mencarikan meja kosong untuk kami bertiga. Jadi, bukan hanya basa-basi.

Ini adalah PELAJARAN PERTAMA : pelayan di rumah makan Ikan Patin Bakar Bambu ini MEMPERHATIKAN kebutuhan setiap konsumen, sehingga ketika ada konsumen yang akan meninggalkannya, dia dapat tetap MEMPERTAHANNYA (TIDAK KEHILANGAN BISNISNYA, karena setiap konsumen yang makan di sana berarti memberikan transaksi bisnis kepada dia).

* * * * *

Pada saat kami sudah duduk di kursi yang tersedia, pelayan rumah makan tersebut memberikan daftar menu makanan dan kemudian mencatat makanan dan menuman yang kami pesan. Setelah dia membacakan apa yang dia catat supaya tidak salah menyajikan makanan dan minuman, dia menyampaikan kalimat bahwa pihak rumah makan mohon maaf karena kami harus menunggu beberapa saat sebab makanan yang kami pesan harus dimasak lebih dulu.

Mendengar kalimat ini, kami jadi gelisah : berapa lama kami harus menunggu pesanan kami.

Tetapi ternyata sebentar kemudia minuman yang kami pesan sudah tersaji di meja kami. Demikian pula makanan yang kami pesan juga sudah tersaji dalam waktu singkat, tidak selama yang kami bayangkan sebelumnya. Dan kami melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seluruh karyawan rumah makan ini bekerja dengan SIGAP, PENUH SEMANGAT, dan CERIA.

Ini adalah PELAJARAN KEDUA : bekerja dengan SIGAP, PENUH SEMANGAT, dan CERIA.

* * * * *

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan obrolan positif yang adakalanya kita alami tanda direncanakan terlebih dahulu. Misalnya, tentang pelayan rumah makan yang bekerja "TIDAK ASAL KERJA".

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Holiparent ditulis oleh Constantinus Johanna Joseph, sarjana di bidang ilmu alam dan sarjana di bidang ilmu sosial. Anggota Himpunan Psikologi Indonesia dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi.

Menemani Anak : NGOBROL SAMBIL MAKAN MALAM



Beberapa orang tua bercerita kepada saya bahwa anak mereka yang sudah duduk di bangku SMP atau SMA sudah mulai jarang ngobrol dengan mereka. Setidaknya, dibandingkan dengan ketika anak-anak itu masih di SD.

Hal ini dapat dimaklumi. Anak-anak ketika sudah SMP atau SMA biasanya sudah punya teman bermain seusianya, biasanya merupakan teman sekolahnya. Anak usia SMP dan SMA sedang pada taraf mencari identitas diri, dan bermain serta ngobrol dengan teman sebaya adalah hal yang wajar. Tentu saja, orang tua tetap harus tahu siapa saja teman bermain anaknya. Maksudnya adalah supaya jangan sampai salah pergaulan : punya teman akrab yang sebaya ternyata yang perilakunya ,melanggar norma susila, norma agama, bahkan aturan hukum. Itu sebabnya, orang tua harus tetap tahu dengan siapa saja anaknya bergaul, meskipun orang tua sudah tidak bisa ngobrol dan bermain dengan anak sedekat ketika anak masih SD.

* * * * *

"Lha itu masalahnya, Kang....., " kata Slontrot kepada saya. "Terus terang saja, saya ini sibuk kerja. Istri saya juga. Jadi, saya dan istri tidak tahu siapa saja teman bermain anak kami".

Saya menyimak perkataan Slontrot. Slontrot adalah teman baik dan teman lama saya. Dia memang harus bekerja keras mencari nafkah. Demikian pula istrinya. Hanya dengan kerja berdua itulah, kebutuhan keuangan keluarga bisa tercukupi.

"Kalau pulang kerja, apa kamu dan istrimu tidak pernah ngobrol dengan anak-anak saat makan malam bersama ?" tanya saya.

"Ya tidak pernah, Kang. Kami memang tidak pernah makan malam bersama. Kalau makan malam ya sendiri-sendiri," jawab Slontrot.

"Begini..... Makan malam bersama itu perlu, karena sambil makan malam bisa ngobrol dengan anak selama kira-kira setengah jam. Tidak usah kamu membayangkam makan malam di meja makan. Makan malam sambil lesehan di tikar saja juga bisa. Tidak usah kamu membayangkan makan malam pakai lauk daging dan buah-buahan mahal. Makan malam pakai lauk tahu tempe dan sambal plus kerupuk juga bisa. Yang penting, sambil makan malam itu, kamu dan istrimu serta anak-anak bisa ngobrol sekitar setengah jam. Itu kesempatan yang bagus untuk ngobrol," kata saya.

Slontrot mengangguk-anggukkan kepala.

Saya menambahkan, "Pada saat kamu dan keluarga makan malam di rumah, jangan lupa semua handphone dan smartphonemu disimpan di kamar. Begitu juga dengan istri dan anak-anakmu. Jangan sampai kalian makan malam bersama, duduk bersama, tetapi masing-masing orang justru sibuk SMS-an dan lain-lain dengan smartphone-nya. Itu namanya DEKAT DI MATA TAPI JAUH DI HATI. Kalian sepertinya berkumpul, tetapi sesungguhnya tidak ada komunikasi di situ. Sayang sekali kalau begitu"

* * * * *

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Holiparent ditulis oleh Constantinus Johanna Joseph, sarjana di bidang ilmu alam dan ilmu sosial. Anggota Himpunan Psikologi Indonesia dan anggota Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi.

Minggu, 22 Maret 2015

Menemani Anak : MENGENALKAN ANAK DENGAN WIRAUSAHAWAN "SOSIS Mr. POPOYA"




Mas Irawan dan Mbak Wina namanya. Masih muda, mengendarai mobil Honda Jazz warna merah, dan punya usaha sendiri Sosis Bakar "Popoya".

Saya bertemu dengan pasangan suami istri ini di kawasan Pantai Marina - Kota Semarang pada hari Sabtu tanggal 7 Maret 2015. Kami sekeluarga sedang jalan-jalan di pantai tersebut ketika rasa lapar tiba-tiba datang, dan di depan kami ada penjual sosis bakar dengan nama "Popoya".


Bukan bermaksud promosi, tetapi sosia bakar "Popoya" buatan Mas Irawan dan Mbak Wina memang enak. Tidak heran, mereka punya banyak pelanggan. Mas Irawan dan Mbak Wina hany hari Sabtu dan Minggu berjualan di kawasan Pantai Marina - Kota Semarang. Hari Senin sampai Jumat mereka sibuk membuat sosis dan  bumbu-bumbu sendiri, kemudian dikirim ke outlet-outlet yang sudah bekerja sama dengan mereka untuk berjualan sosis bakar dengan merek "Popoya".




Ya, Mas Irawan dan Mbak Wina yang masih muda usia ini adalah pemilik / pengusaha sosis bakar "Popoya" ! Mas Irawan yang seorang Sarjana Komputer dan Mbak Wina yang lulusan Sekolah Menengah Kejuruan di bidang Tata Boga ini memang memilih menjadi wirausahawan. Mereka bercerita kepada saya bahwa banyak orang tidak percaya bahwa mereka berdua adalah pemilik sosis bakar "Popoya", karena mereka masih MUDA USIA.


Tetap saya percaya ! Kenapa ? Karena dulu saya juga sudah punya usaha Bimbingan Belajar ketika saya masih berumur 19 tahun ! Intinya, kalau mau jadi pengusaha, JANGAN MENUNGGU TUA !



Menarik juga mendengar cerita dari Mas Irawan bahwa beliau menjadi pengusaha karena ayahnya juga seorang pengusaha. Kenapa saya bilang menarik ? Karena terbukti bahwa APA YANG DIKERJAKAN oleh orang tua akan ditiru oleh anak ! Artinya, KEPRIBADIAN mereka memang cocok untuk menjadi wirausahawan !

Nah, di sini ada perbedaannya dengan saya. Ayah saya adalah seorang karyawan biasa. Lalu, kenapa pada usia 19 tahun saya sudah mendirikan sendiri usaha BIMBINGAN BELAJAR ? Karena saya BUTUH uang untuk biaya praktikum kuliah (waktu itu saya kuliah di Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro yang sering praktikum di luar kota, sedangkan orang tua saya hanya mampu membayar uang kuliah semesteran saja,  Rp 20.000,- per bulan waktu itu). Tetapi, ini belum menjawab pertanyaan : dari mana saya belajar mendirikan usaha sendiri ?


Ayah dan ibu saya sangat pandai berkomunikasi dengan orang. Kenalannya banyak, dari dalam negeri dan dari luar negeri. Dan saya TERKESAN dengan itu : ibu saya pandai MENULIS SURAT untuk kenalan-kenalannya di luar negeri, sedangkan ayah saya sangat mahir NGOBROL dengan orang. Kombinasi MENULIS, NGOBROL, dan BUTUH UANG inilah yang mendorong saya untuk YAKIN MEMBUKA USAHA SENDIRI di bidang Bimbingan Belajar (dengan mempekerjakan banyak pengajar), yang secara NYATA mampu MEMBIAYAI praktikum kuliah saya, membeli buku, bahkan makan di restoran dan nonton bioskop dengan pacar (yang sekarang menjadi istri saya).




Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya masih menjadi pembicara untuk murid Sekolah Menengah Kejuruan. Sesuai pekerjaan dan pendidikan saya di bidang Psikologi Industri, saya menjelaskan tentang serba-serbi dunia kerja, dan apa yang harus dipersiapkan oleh para murid SMK yang akan lulus sekolah (kemudian memasuki dunia kerja).


Saya selalu mengatakan bahwa ingin menjadi KARYAWAN itu sah-sah saja, dan ingin menjadi PENGUSAHA itu juga sah-sah saja. Mau jadi karyawan dulu, kemudian setelah punya cukup modal, pengalaman, dan relasi, baru membuka usaha sendiri juga sah-sah saja. Yang saya tekankan adalah JANGAN MENUNDA-NUNDA untuk memulainya.


Tentang hal ini, ada yang bertanya kepada saya, "Pak Tinus 'kan punya gelar Magister Manajemen di bidang Pemasaran...... Saya 'kan tidak....."

Saya menjawab, "Saya buka usaha sendiri, berjualan sendiri usaha Bimbingan Belajar saya waktu saya masih umur 19 tahun.... Saya baru kuliah Magister Manajemen bidang Pemasaran waktu saya sudah umur 28 tahun....."

Saya hanya mau mengatakan bahwa PENDIDIKAN itu bisa MENUNJANG kita membuka usaha sendiri, tetapi jangan salah paham bahwa pendidikan itu akan MENJAMIN bahwa usaha kita sukses.  Saya punya banyak kenalan yang punya gelar pendidikan bisnis / manajemen, tetapi mereka tidak kunjung buka usaha sendiri. Kenapa ? Karena mereka RAGU untuk memulainya dan menekuninya. KEPRIBADIANNYA tidak mendukung.

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak untuk membuka wawasan bahwa PENDIDIKAN itu penting, tetapi KEPRIBADIAN itu juga penting, dan apa yang akan dikerjakan anak kita kelak adalah KOMBINASI dari keduanya.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----oOo-----


Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Praktisi Psikologi Industri, anggota HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia) dan anggota APIO (Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi). Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Mahasiswa Profesi Psikologi di Universitas Katholik Soegijapranata Semarang.


Mem-visual-kan Kualitas : Pempek Palembang "Ny. Kamto"




Siang itu saya bersama istri dan anak makan siang di Rumah Makan Pempek Palembang “Ny. Kamto” di Jalan Ngesrep Timur, Temabalang, Semarang. Ini adalah jalan raya menuju ke Kampus Universitas Diponegoro - Tembalang Semarang, yang sering kami lewati ketika jalan-jalan di hari libur (sambil bernostalgia, karena saya dan istri adalah lulusan Universitas Diponegoro).

Apa yang menarik untuk saya tuliskan tentang Rumah Makan Pempek Palembang “Ny. Kamto” ini ?

Di Semarang, ada cukup banyak penjual pempek. Ada yang penjual kaki lima, ada yang berjualan di warung makan, bahkan ada juga yang berjualan di "counter" makanan di "mall" atau pujasera. Tentu saja, ada juga Rumah Makan Pempek Palembang “Ny. Kamto”.

Yang menarik untuk saya tuliskan (dan sudah saya jadikan bahan "ngobrol" dengan anak saya) adalah bagaimana Rumah Makan Pempek Palembang “Ny. Kamto” MENJELASKAN kepada pembeli bahwa pempek buatan mereka adalah pempek yang BERKUALITAS TINGGI.

Di Rumah Makan Pempek Palembang “Ny. Kamto” yang kami kunjungi siang itu, terpasang foto-foto berukuran besar tentang PROSES pembuatan pempek, termasuk IKAN SEGAR BERUKURAN SANGAT BESAR yang sedang dibawa oleh juru masak, siap untuk diolah. Ada juga foto berukuran besar tentang KUNING TELUR yang sedang diolah untuk dimasukkan / dijadikan isi pempek. Foto-foto berukuran besar ini SANGAT INFORMATIF dan membuat pembeli (termasuk kami) memiliki pengetahuan dan KEYAKINAN bahwa pempek yang kami beli (dan kami makan) memang makanan yang dibuat oleh ORANG yang AHLI di bidangnya.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Seperti biasa, ketika kita sedang berkunjung atau makan di suatu tempat bersama anak-anak kita, kita selalu dapat menggunakan apa saja yang kita temui untuk dijadikan sebagai BAHAN OBROLAN dengan anak kita. Dalam hal foto-foto berukuran besar di Rumah Makan Pempek Palembang “Ny. Kamto”, saya ngobrol dengan anak saya tentang peranan foto-foto INFORMATIF seperti itu, yaitu untuk menciptakan / meningkatkan PENGErTAHUAN dan KEYAKINAN pembeli, selain (tentu saja) sebagai DEKORASI / penghias dinding rumah makan.

Semoga dengan demikian anak-anak kita bisa selalu belajar dari apa sajanyang ditemuinya, termasuk (dalam hal ini) tentang foto yang multi fungsi : sebagai HIASAN, memberikan INFORMASI, dan meningkatkan KEYAKINAN pembeli. 

Semoga pula (dengan demikian) anak-anak kita semakin paham tentang arti penting dari kegiatan MENGGUNAKAN FOTO (entah di Facebook, di Instagram, atau media sosial lainnya) untuk membuat orang lain PAHAM akan siapa dirinya (dan dengan demikian TIDAK SEMBARANGAN mau difoto atau memasang foto, karena hal itu akan MEMBENTUK CITRA DIRINYA di mata orang lain).

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----oOo-----


Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Praktisi Psikologi Industri, Anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) dan Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO). Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial, mahasiswa Profesi Psikologi di Universitas Katholik Soegijapranata Semarang.

Minggu, 22 Februari 2015

RASA MALU = HAMBATAN DALAM BELAJAR




Keponakan saya yang tinggal di luar kota (saya tinggal di Semarang) sekarang ini duduk di kelas II Sekolah Dasar. Tetapi dia belum bisa naik sepeda. Ketika ibunya sedang meneruskan pendidikan di Semarang, keponakan saya ikut ke Semarang dan sekolahnya pindah ke Semarang. 

Sepulang dari sekolah di Semarang, dia belajar naik sepeda. Pada hari keempat dia belajar naik sepeda, keponakan saya sudah mahir bersepeda. Padahal selama lebih dari satu tahun di tempat tinggalnya, dia tidak bisa naik sepeda. 

Kenapa ? Karena dulu dia TIDAK BELAJAR naik sepeda !

* * *

"Kenapa kamu di rumahmu sendiri tidak bisa naik sepeda ?" tanya saya kepada keponakan saya.

"Saya malu," jawabnya.

"Malu kepada siapa ?"

"Malu dengan teman-teman".

"Kenapa ?"

"Karena aku sudah besar tapi belum bisa naik sepeda".

"Memangnya teman-temanmu di sana semua sudah pandai naik sepeda ?"

"Iya. Yang lebih kecil dari aku juga sudah bisa naik sepeda".

"Kenapa di Semarang kamu tidak malu belajar naik sepeda ?" tanya saya.

"Karena di sini aku tidak kenal mereka, jadi aku tidak malu," kata keponakanku.

* * *

Ibu - Ibu dan Bapak - Bapak Yth.,

Apa yang saya "sharing"-kan lewat tulisan kali ini sebenarnya adalah renungan bagi kita bersama.

Pertama, RASA MALU bisa menghambat proses belajar anak. Kita sebagai orang tua HARUS bisa MENGENALI rasa malu yang ada dalam diri anak (yang menyebabkan proses belajar anak terhambat, entah dalam hal belajar naik sepeda atau belajar apapun juga).

Kedua, ketika tidak ada rasa malu dan anak mulai belajar, maka KEMAJUANNYA TERLIHAT PESAT. Dalam hal ini, orang tua harus bisa menjadi teman bagi anak, supaya anak merasa DIAKUI KEBERHASILANNYA.

* * *

"Apa senjata paling ampuh untuk mengalahkan singa ?" tanya saya kepada keponakan saya itu. Siang itu, kami sedang main tebak-tebakan.

Seperti diduga, keponakan saya menyebut bermacam-macam senjata. Pedang dan pistol adalah yang disebutnya.

"Bukan....," kata saya sambil tersenyum.

"Terus jawabannya apa ?" tanya keponakan saya dengan penasaran.

"Penghapus," kata saya, dengan wajah serius.

"Kok bisa ?" tanya keponakan saya dengan tambah penasaran.

"Iya. Kalau singanya datang, kedua matanya kita hapus dengan penghapus. Maka singa itu tidak bisa melihat. Kemudian, ketika singa itu sedang bingung karena tidak bisa melihat, giliran mulutnya kita hapus. Maka singa itu tidak bisa menggigit," jawab saya.

"Ha....ha....ha....," keponakan saya tertawa,

Saya masih melanjutkan, "Setelah itu, kaki kiri depan dan kaki kiri belakang kita hapus juga. Maka singa itu akan bingung kalau mau berjalan".

"Ha....ha....ha....," keponakan saya tertawa tambah keras.

Saya ikut tertawa.

* * *

Keakraban dengan anak memang sangat perlu (dalam hal ini : saya dengan keponakan saya yang masih kelas II SD).

Keakraban ini bisa dibangun dengan lelucon-lelucon seperti ini, supaya anak merasa bahwa kita adalah sahabatnya. (Namun, kita tetap harus tegas dan memegang prinsip ketika mengharuskan anak belajar pada waktunya. Dengan demikian, ada KESEIMBANGAN antara "akrab sebagai sahabat" sekaligus "berwibawa dalam memberikan pengarahan". Keponakan saya "segan" kepada saya, karena di satu pihak saya yang menyiapkan sepedanya, di lain pihak saya bersikap tegas ketika mengharuskan dia tidak boleh  nonton televisi ketika sedang belajar).

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Anggota Himpunan Psikologi Indonesoa dan Anggota Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Mahasiswa Magister Profesi Psikologi di Unika Soegijapranata.

SELALU MEMBAWA ALAT UNTUK MENANGKAP IDE YANG LEWAT





Banyak yang bertanya kepada saya, "Di mana kamu menulis ?"

Saya jawab dengan sejujurnya, "Di mana saja".

Lalu, ada lagi yang bertanya kepada saya, "Dengan apa kamu menulis ?"




Saya jawab (lagi-lagi) dengan sejujurnya, "Dengan apa saja". Maksud saya, saya bisa menulis artikel atau materi training atau sistem manajemen sumberdaya manusia dengan "smartphone" (kalau saya sedang bawa "smartphone"), dengan "handphone QWERTY" saya (kalau saya sedang membawa "handphone" QWERTY), atau dengan "tablet" ukuran 10 inchi (kalau saya sedang membawa "tablet" ukuran 10 inchi lengkap dengan "wireless keyboard"-nya), atau dengan "laptop" (kalau saya sedang membawa "laptop"). 





Demikian pula, foto-foto ilustrasi tulisan saya juga saya buat sendiri, karena itu (tidak jarang) saya membawa kamera DSLR.




* * *

Pada kenyataannya, saya biasanya membawa minimal dua alat untuk menulis. Misalnya, "smartphone" dan "tablet" 10 inchi, "smartphone" dan "laptop"; atau "smartphone" dengan "handphone" QWERTY. Alasannya sederhana : kalau saya kehabisan baterei di salah satu "alat tulis" yang saya bawa, saya masih punya "alat tulis" satu lagi (yang saya bawa). Ini semua "menjamin" bahwa ide yang melintas KAPAN PUN akan saya TANGKAP dengan alat tulis yang saya bawa saat itu. Atau, ketika saya sedang MENUNGGU seseorang atau suatu acara (termasuk menunggu film bioskop diputar), saya bisa mengetik di kafe atau di "lobby" bioskop atau bahkan di dalam mobil saya (yang sedang saya parkir).

* * *

"Wah, kamu niat banget bawa-bawa alat-alat elektronik buat menulis di perjalanan," begitu kira-kira komentar beberapa orang yang saya beri tahu tentang bagaimana saya bisa menulis di mana saja.

"Saya hanya mengisi waktu luang di perjalanan, makanya saya membawa alat-alat tulis," jawab saya, apa adanya. "Lagi pula, kalau saya menunggu sampai rumah baru menulis, ide biasanya sudah sudah lewat dan tulisan justru tidak selesai".

* * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa semua orang harus membawa alat tulis (elektronik) ke mana saja mereka pergi, supaya bisa langsung menuliskan ide-ide yang muncul (di setiap saat, di sembarang tempat). Tetapi saya ingin men-sharing-kan hal ini : bahwa supaya orang bisa produktif menulis, maka dia harus siap sedia setiap saat untuk menuliskan ide yang muncul dengan alat tulis elektronik yang dia punya. 

Prinsipnya, kalau ingin PRODUKTIF, maka harus SIAP SEDIA SETIAP SAAT untuk menangkap dan menuliskan ide yang muncul.

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----oOo-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus  Johanna Joseph. Anggota Himpunan Psikologi Indonesia dan Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.

Teh Uwuh dan Teh Serai




Teh Uwuh dan Teh Serai. Kedua jenis minuman teh ini mungkin bagi banyak orang sudah sangat familiar. Tetapi bagi saya, saya mengenal keduanya di Tea House dan Tea Bar "Tong Tji".

* * *

Saya dengan Agatha dan Usie (anak dan istri saya) memang sengaja mampir ke Tea House atau Tea Bar "Tong Tji" bukan pertama-tama karena ingin makan atau minum. Tetapi (biasanya) karena kaki kami pegal setelah jalan-jalan keliling mall, dan sengaja mencari tempat duduk. Maka, jadilah kami ke Tea House atau Tea Bar "Tong Tji".

Memang, Bapak William dari "Tong Tji" adalah rekan pengurus APIO (Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi) Kota Semarang, dan kami sama-sama Sarjana Psikologi. Tetapi ke-mampir-an saya dan keluarga (memang pertama-tama) karena mencari tempat duduk di mall.

* * *

Ini bukan tulisan promosi. Bahkan (mungkin) Bapak William tidak tahu kalau saya menulis tentang Tea House dan Tea Bar "Tong Tji". Tetapi tidak apa-apa. Tujuan saya memang bukan untuk mempromosikan Tea House atau Tea Bar "Tong Tji" atau untuk memberitahu Bapak William tentang "saya sering mampir di Tea House atau Tea Bar-nya". Tujuan saya adalah men-sharing-kan apa yang saya dan keluarga alami dengan mampir ke Tea House dan Tea Bar "Tong Tji".
Kami (saya, Agatha, Usie) sepakat bahwa Tea House dan Tea Bar "Tong Tji" adalah suatu terobosan bisnis yang cerdas. Di Kota Semarang, Tea House dan Tea Bar "Tong Tji" adalah pelopor dalam hal tempat duduk dan makan camilan sambil minum teh (yang dimiliki oleh sebuah produsen teh, yaitu "Tong Tji").

Di Tea House dan Tea Bar "Tong Tji", minuman teh disajikan dengan berbagai macam variasi, misalnya (kesukaan saya) adalah Teh Uwuh dan Teh Serai.
Wedang Uwuh dan Wedang Serai sendiri sebenarnya adalah nama minuman tradisional di Jawa. Namun, "Tong Tji" mengombinasikannya dengan teh (karena dia adalah produsen teh).

"Dengan disajikan sebagai Teh Uwuh atau Teh Serai, minuman teh ini jadi tampil beda, dan bisa dijual dengan harga lebih tinggi tetap tetap terjangkau dan konsumen suka," kata saya kepada Agatha.

Sebagai seorang penjual bakso sapi dengan merk "Raja Rasa" ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar Pangudi Luhur "Bernardus" kelas VI (saat ini Agatha duduk di kelas X SMA Kolese Loyola Semarang), Agatha memang akrab dengan ide-ide kreatif pemasaran.



Sambil duduk-duduk membaca buku, kami bisa ngobrol banyak tentang Tea House dan Tea Bar "Tong Tji" yang bisa menarik pengunjung menjadi pelanggan (termasuk kami sekeluarga) karena "kecanduan" bukan hanya minumannya, tetapi tentu saja tempat duduknya (setelah lelah berjalan-jalan).

Pertanyaannya adalah : kenapa Tong Tji, kenapa bukan yang lain yang membuat Tea House atau Tea Bar seperti ini di Semarang ?

Ya. Itulah yang disebut kreativitas yang DIWUJUDKAN menjadi suatu inovasi. Mungkin saja, ide kreatif membuat Tea House atau Tea Bar juga sudah dipikirkan oleh produsen lain, tetapi yang berani BERTINDAK MEWUJUDKAN adalah "Tong Tji".

* * *

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Itulah renungan kita bersama kali ini : IDE KREATIF kalau tidak DITINDAKLANJUTI / DIWUJUDKAN hanya akan berhenti sebatas ide kreatif saja, sedangkan siapa yang CEPAT MEWUJUDKAN akan menjadi pelopor INOVASI (setidaknya, yang pertama MENANGKAP PELUANG yang ada).

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----oOo-----


Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Anggota Himpunan Psikologi Indonesia dan Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan  Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Mahasiswa Profesi Psikologi Universitas Katholik Soegijapranata.

Rabu, 04 Februari 2015

BELAJAR ALA FINLANDIA (SEKEDAR TAHU)



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca Blog Inspirasi Pendidikan Kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Pagi ini saya sedang membuka akun Facebook saya (Si Jurai Constantinus), dan saya menemukan sebuah tulisan yang ditautkan oleh seorang teman, yang menurut saya menarik untuk kita simak. Tentu saja, tidak berarti kita bisa langsung meniru 100% apa yang tertulis di situ, tetapi bisa menambah keyakinan kita bahwa dalam proses belajar, anak harus dalam suasana GEMBIRA dan JUSTRU BANYAK BERMAIN, meskipun MENGHAFAL JUGA PERLU.

Tulisan ini dibuat oleh Ibu Hardiana Noviantari pada tanggal 5 Desember 2014 dengan judul SEKOLAH CUMA 5 JAM, TANPA PR & UJIAN NASIONAL, KENAPA PELAJAR DI FINLANDIA BISA PINTAR ?

Sekali lagi, ini tidak otomatis 100% bisa kita tiru begitu saja, karena secara GENETIS / FAKTOR KETURUNAN bisa saja berbeda, dan secara PROSES BELAJAR SOSIAL / KEHIDUPAN SEHARI-HARI DI KELUARGA DAN MASYARAKAT juga bisa saja berbeda.

PERTAMA,

Di Finlandia, anak baru boleh bersekolah setelah usianya 7 tahun.

KEDUA,

45 menit belajar, 15 menit istirahat.

KETIGA,

Semua sekolah negeri bebas biaya, sekolah swasta juga diawasi ketat agar tetap terjangkau masyarakat.

KEEMPAT,

Semua guru dibiayai kulias sampai lulus Master. Gaji guru merupakan salah satu yang tertinggi di Finlandia.

KELIMA,

Guru adalah orang yang paling tahu bagaimana cara mengevaluasi murid-muridnya, karena itu Ujian Nasional tidak diperlukan.

KEENAM,

Murid SD-SMP hanya belajar 4-5 jam sehari. Ketika sudah SMP dan SMA, mereka belajar seperti mahasiswa kuliah (hanya datang pada jam pelajaran yang mereka PILIH; mereka tidak datang karena TERPAKSA).

KETUJUH,

Tidak ada ranking siswa di sekolah.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang terhormat,

Itulah sharing tentang pendidikan di Finlandia. Untuk membaca tulisan selengkapnya, silakan membuka www.hipwee.com dengan judul SEKOLAH CUMA 5 JAM, TANPA PR & UJIAN NASIONAL, KENAPA PELAJAR DI FINLANDIA BISA PINTAR ?

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Minggu, 25 Januari 2015

Menemani Anak dengan Memberikan Makanan Sehat



Setelah sekian lama blog inspirasi pendidikan kreatif HOLIPARENT ini terbit, ad pertanyaan yang menngelitik hati saya : apakah menemani anak itu tidak perlu juga membahas makanan sehatnya ? Sebab sebagaimana kita ketahui bersama, makanan sehat juga diperlukan untuk berpikir kreatif anak, bukan hanya aspek Psikologi Kognitif saja. Bahkan, ketika seseorang sudah menjadi manusia dewasa dan memasuki dunia kerja, maka pola makan sehat ini juga perlu untuk menjaga kesehatannya yang otomatis menunjang produktivitasnya. Logikanya begini : seseorang yang kompeten melakukan suatu pekerjaan, kalau dia sakit, maka dia tidak akan bisa menjalankan pekerjaannya. Tentu saja, kesehatan adalah merupakan anugrah Tuhan, dan ini bukan berarti bahwa manusia kemudian tidak akan sakit (karena sakit itu adalah hal yang manusiawi). Namun, dengan pengetahuan yang merupakan anugrah dari Tuhan, maka marilah kita saling men-sharing-kan masalah kesehatan, dalam hal ini tentang makanan sehat.

"Tetapi kita bukan dokter, lho.... Makanya kita membatasi pembahasan pada makanan sehat saja, sebab kita memang dulu mendapatkan ilmu tentang itu," kata istri saya mengingatkan. 

Saya mengangguk-anggukkan kepala. Susana (istri saya) dan saya memang dulu di jurusan Perikanan Undip tahun 1989-1995 mendapatkan kuliah tentang  Kimia Organik, Kimia Anorganik, Biologi, Biokimia, Ilmu Pangan I, Ilmu Pangan II, Algologi (Ilmu tentang Rumput Laut), Teknologi Hasil Perikanan, Teknik Pengolahan Ikan, dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan.

"Modal ilmu yang kita punya sudah cukup, cuma selama ini memang belum kita terapkan, karena jalan hidup kita adalah bekerja di manajemen perbankan," kata saya. "Mungkin, sekaranglah saatnya kita bisa men-sharing-kan ilmu-ilmu itu, karena ilmu itu dianugrahkan Tuhan kepada kita pasti dengan tujuan tertentu."

Jadi, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang kami hormati,
di edisi -edisi berikutnya kami juga akan memuat tulisan tentang makanan sehat sebagai wujud upaya kami dalam men-sharing-kan anugrah ilmu yang sudah kami dapatkan dari Tuhan sejak 25 tahun yang lalu.

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----