Minggu, 20 April 2014

Ijazah Asli tapi Palsu ?



Ibu dan Bapak Yth.,

Malam ini (Minggu, 20 April 2014, sekitar pk. 19.30-an) saya ngobrol dengan Agatha, anak saya semata wayang, tentang Ijazah Asli tapi Palsu. Obrolan kami ini bermula dari masalah "jangan iri kepada orang yang tidak baik", misalnya : kepada orang yang tidak jujur (dan karena itu justru jadi kaya raya, setidaknya selama orang seperti ini belum tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK), atau yang sempat diberitakan adanya "oknum mahasiswa" yang diberitakan beberapa bulan lalu di berbagai media massa : ketahuan tidak jujur (menggunakan "jasa joki" atau peralatan canggih) ketika menjalani seleksi ujian masuk di perguruan tinggi.

Ibu dan Bapak Yth.,

Obrolan saya dengan anak kemudian berlanjut tentang "siapa yang sebenarnya dirugikan" ketika ada orang yang tidak jujur. Dalam obrolan kami itu, kami sampai pada kesimpulan bahwa "semua pihak dirugikan, termasuk orang yang curang / tidak jujur itu sendiri". Lho, kok bisa ?

Begini. Dimisalkan ada seorang "oknum" mahasiswa yang selama kuliah selalu tidak jujur dalam arti selalu menyontek. Katakanlah dia pada akhirnya bisa lulus kuliah. Nah, pada saat dia "masuk ke dunia kerja", tentu dia akan mengalami kesulitan ketika harus "menyelesaikan pekerjaan berdasarkan ilmu yang dipelajarinya selama kuliah", karena sesungguhnya dia tidak tahu apa-apa tentang ilmu itu. Kalau mau menyontek, mau menyontek siapa ? Mau bertanya kepada orang lain di tempat kerja, memangnya orang lain tidak punya kerjaan dia sendiri ? Cepat atau lambat, pasti "eks oknum mahasiswa" seperti ini akan "ketahuan belangnya" bahwa dia selama kuliah cuma bisa menyontek, sehingga sekalipun ijazahnyanya ASLI, sesungguhnya itu adalah PALSU karena tidak mencerminkan KUALITAS PENGETAHUAN dari "eks oknum mahasiswa" tersebut. (Sejujurnya, sebagai Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi selama 12 tahun terakhir ini, saya sudah bertemu dengan orang-orang seperti ini).

Ibu dan Bapak Yth.,

Saya dan anak saya kemudian membahas bahwa "zaman dulu kala, di zaman Plato masih menjalankan sekolah yang pertama di muka bumi", para lulusannya belum ada ijazah yang kertas dan cetakannya sebagus sekarang ini. Tetapi zaman berkembang. Untuk MEMBUKTIKAN bahwa seseorang MENGUASAI ILMU TERTENTU, dibuatlah SELEMBAR KERTAS yang disebut ijazah SEKEDAR UNTUK MENGINFORMASIKAN tentang pengusasaan ilmu tersebut. Jadi, yang UTAMA adalah PENGUASAAN ILMU-NYA, sedangkan SELEMBAR KERTAS yang bernama ijazah itu adalah URUTAN KEDUA. Tetapi sekarang memang ada "oknum mahasiswa" yang membaliknya : yang utama adalah SELEMBAR KERTAS yang bernama ijazah (bahkan dengan konsisten melakukan aktivitas menyontek sejak semester awal kuliah sampai dengan lulus), meskipun PENGUASAAN ILMU-NYA tidak ada.

Ibu dan Bapak Yth.,

Dalam obrolan saya dengan Agatha malam ini, kami sampai pada perumpamaan ini : SEANDAINYA ada ketentuan bahwa untuk membuka bengkel sepeda motor / mobil ada syarat bahwa orang harus punya IJAZAH MONTIR, dan karena itu seseorang melakukan kecurangan sedemikian rupa sehingga dia akhirnya memiliki ijazah montir, apakah OTOMATIS DIA BISA MEMPERBAIKI MESIN mobil / sepeda motor ? Tentu saja tidak. Dan tentu saja orang yang memperbaiki mobil / sepeda motor ke bengkel itu justru akan KECEWA, MARAH, MENGGUGAT, dan akibatnya bengkel itu TUTUP / BANGKRUT.

Ibu dan Bapak Yth.,

Saya dalam edisi kali ini sekedar menceritakan obrolan saya dengan anak saya. Semoga menjadi bahan renungan kita dalam menemani anak-anak kita : ijazah itu perlu, dalam arti bahwa itu adalah SELEMBAR KERTAS yang MENGINFORMASIKAN ILMU yang dikuasai oleh anak kita. Artinya juga, tanpa penguasaan ilmu, maka SELEMBAR KERTAS yang bernama ijazah itu TIDAK BERMAKNA APA-APA.

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdasakan Bangsa"

Catatan : Obrolan dengan Agatha tentang "Sekolah-nya Plato" dan "Asal Mula Ijazah" malam ini adalah yang obrolan dengan topik ini untuk yang kedua kalinya; yang pertama kali saya lakukan beberapa bulan lalu di pagi hari ketika mengantar Agatha berangkat sekolah. Saya lupa, apakah obrolan yang pertama itu sudah pernah saya tulis di Blog Holiparent ini. Terima kasih. 

-----o0o-----


Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi, Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia, Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Dapat dihubungi via HP : 082 322 678 579, e-mail : constantinus99@gmail.com, FB : Si Jurai Constantinus. Alamat surat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang 50149.

Jumat, 18 April 2014

Melihat Pelajaran dari Sisi yang Lain : Filsafat (tentang) Ilmu




Ibu dan Bapak Yth.,

Dalam beberapa diskusi dengan para orang tua, dan juga dalam banyak diskusi dengan para karyawan di berbagai perusahaan (mereka ini tentu saja sudah masuk kategori dewasa, karena itu mereka sudah bisa bekerja di perusahaan; setidaknya usia sudah 20-an tahun), saya "menangkap" pesan bahwa ada banyak anak-anak (termasuk yang sekarang sudah dewasa dan sudah bekerja di perusahaan sebagaimana saya sebutkan tadi) ketika belajar di sekolah merasa bahwa belajar itu adalah SUPAYA MENDAPAT NILAI BAIK KETIKA ULANGAN dan dinyatakan LULUS. Karena itu tidak mengherankan bahwa saya bertemu pelamar kerja (atau juga mahasiswa) yang kalau ditanya tentang pelajaran yang dulu dipelajarinya akan menjawab (dengan malu-malu) : LUPA ! Dan, salah satunya adalah tentang MATEMATIKA dan STATISTIKA.



Ibu dan Bapak Yth.,

Meskipun saya menjadi asisten kuliah Statistika pada saat masih belajar di Jurusan Perikanan Universitas Diponegoro tahun 1990-1991, bukan berarti saya ahli di bidang Statistika. Tetapi saya melihat bahwa paling tidak, prinsip-prinsip dasar seperti data BERDISTRIBUSI NORMAL, MEAN, MODUS, MEDIAN, UJI HIPOTESIS, TINGKAT KEPERCAYAAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN, adalah hal yang tidak dilupakan bagi siapapun yang sudah belajar tentang Statistika (beberapa hal itu sudah diajarkan sejak SMP dan SMA meskipun masih dimasukkan ke dalam pelajaran Matematika : (misalnya) tentang RATA-RATA dari sekumpulan data nilai ulangan siswa). Prinsip-prinsip dasar ini merupakan ALAT TEKNIS yang diperlukan ketika seseorang mengambil kesimpulan  / keputusan, ketika melakukan analisis dalam kehidupan / pekerjaan sehari-hari.



Ibu dan Bapak Yth.,

Memang, Statistika (seperti halnya Matematika) sering "ditakuti" oleh banyak orang. Saya tidak memungkiri hal ini. Tetapi, hal ini bisa DISIASATI dengan membaca buku-buku yang BERCERITA tentang SEJARAH dan juga tentang KEGUNAAN NYATA Matematika, Statistika, atau ilmu-ilmu lain yang selama ini "dipandang" tidak ada "ceritanya". Dengan mengetahui cerita-cerita tersebut, maka kita sebagai orang tua dapat MENEMANI ANAK untuk membaca bersama dan ngobrol dengan ASYIK tentang ilmu yang selama ini dipandang hanya  sekedar berisi hitung-menghitung saja. Dengan demikian, karena mengetahui SEJARAH dan KEGUNAANNYA secara NYATA, semoga anak-anak kita dan kita sebagai orang tua akan mempunyai PANDANGAN yang BARU bahwa ilmu-ilmu itu SUNGGUH NYATA KEGUNAANNYA dan MENYENANGKAN juga untuk dipelajari.



Ibu dan Bapak Yth.,

Sebagai contoh nyata, dalam tulisan kali ini saya tampilkan foto-foto dari beberapa buku yang saya maksud, yang dapat dijadikan sebagai BAHA OBROLAN SANTAI dengan anak di saat waktu senggang.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia.

Dapat dihubungi lewat e-mail : constantinus99@gmail.com, HP : 082 322 678 579, FB : Si Jurai Constantinus. Alamat surat : Jalan Anjasmoro  V nomor 24 Semarang 50149.

Kamis, 17 April 2014

STAR : Situation - Task - Action - Result



Ibu dan Bapak Yth.,

Sekitar bulan Oktober atau Nopember 2013 , anak saya semata wayang mendaftar sebagai murid baru di SMA Kolese Loyola Semarang, tempat saya dan juga istri saya dulu bersekolah di tahun 1986-1989. Salah satu tahap seleksi yang banyak menggugurkan pendaftar adalah tahap wawancara. Puji syukur kepada Tuhan, anak saya bisa lulus dari tahap ini. Dan tentang wawancara inilah yang akan menjadi bahan tulisan edisi kali ini.

Ibu dan Bapak Yth.,

Seleksi wawancara dilakukan untuk melihat apakah seorang anak dinilai cocok atau tidak dilihat dari pemikiran, sikap, dan perilaku / perbuatannya. selain itu, juga bisa digunakan untuk melihat bagaimana daya tangkap, kemampuan analisis, dan kemampuan komunikasi anak. Tentu saja, dari proses selama kurqng lebih setengah jam yang dilakukan oleh dua orang guru SMA Kolese Loyola sebagai pewawancara ini, juga dinilai konsep diri dan tingkat percaya diri anak sebagai calon murid, dan apakah anak memberikan jawaban yang ada unsur kebohongan / ketidakkonsistenan jawaban atau tidak.

Jadi, jangan berbohong dalam seleksi wawancara. Ini merupakan hal penting yang harus kita beritahukan kepada anak. Menjawab dengan jujur adalah yang seharusnya dilakukan. Sebab, pewawancara yang terlatih / berpengalaman akan tahu ada tidaknya jawaban bohong. Saya sendiri sebagai seorang konsultan di bidang manajemen sumber daya manusia dengan latar belakang pendidikan Psikologi Industri yang sudah 12 tahun mewawancarai banyak orang / pelamar bisa dengan mudah menangkap adanya sinyal-sinyal kebohongan.

Sekali lagi, jangan memberikan jawaban bohong.

Ibu dan Bapak Yth.,

Hal lain yang perlu diberitahukan kepada anak adalah metode pewawancara dalam seleksi wawancara seperti ini. Saat ini, pewawancara menggunakan metode yang disebut STAR, singkatan dari Situation, Task, Action, Result.

Dengan metode ini, pewawancara akan menanyakan kepada anak / orang yang diwawancarai tentang salah satu pengalaman yang paling berkesan karena penuh dengan tantangan. Maka, anak akan memberikan jawaban atas pertanyaan ini.

Setelah anak selesai memberikan jawaban, maka pewawancara akan menanyakan tentang bagaimana SITUASI yang ada pada saat peristiwa itu terjadi. Anak kembali memberikan jawaban.

Lalu, pewawancara menanyakan tentang apa TASK atau posisi atau peranan anak pada saat itu. Kembali, anak akan memberikan jawaban atas pertanyaan ini.

Pewawancara kemudian menanyakan tentang apa ACTION yang dilakukan anak dalam SITUASI seperti itu, dengan TASK yang diembannya. Anak kembali menjawab tentang apa saja yang dilakukannya.

Dan kemudian pewawancara akan menanyakan tentang RESULT atau hasil yang dicapai dari itu semua.

Itulah tahap-tahap yang dilakukan dengan metode STAR.

Ibu dan Bapak Yth.,

Dalam memberikan jawaban selama seleksi wawancara, anak juga harus selalu menggunakan kata SAYA, bukan KAMI. Apabila anak menggunakan kata KAMI, maka pewawancara akan berkata bahwa yang ditanyakan adalah apa yang KAMU PRIBADI lakukan, bukan yang dilakukan oleh KAMU BERSAMA TEMAN-TEMANMU.

Ibu dan Bapak Yth.,

Metode STAR ini saya sharingkan dalam tulisan kali ini, karena kualitas jawaban yang diberikan oleh anak ketika menjalani seleksi wawancara adalah sangat erat kaitannya dengan PENDAMPINGAN yang dilakulan oleh kita sebagai orang tua dalam BERBAGAI AKTIVITAS / KEGIATAN anak jauh sebelum anak menjalani seleksi wawancara STAR ini.

Yang perlu kita perhatikan adalah bukan BESARNYA ORGANISASI atau JAUHNYA JARAK yang ditempuh dalam berorganisasi (harus sampai luar kota atau luar pulau atau luar negeri), tetapi APA DAN BAGAIMANA PERAN dari anak sebagai seorang pribadi : apakah menjadi seorang PEMIMPIN / PENGGERAK / KOORDINATOR, ataukah hanya sebatas menjadi PENGIKUT saja.

Ibu dan Bapak Yth.,

Semoga tulisan tentang STAR ini dapat bermanfaat bahi kita semua dalam MEMBIMBING DAN MENEMANI ANAK, sehingga anak sungguh-sungguh mempunyai PENGALAMAN yang BERKUALITAS ketika menghadapi SITUASI tertentu pada suatu TASK / posisi peranan tertentu, untuk melakukan ACTION tertentu dalam rangka mencapai RESULT yang terbaik. Ini akan menjadi MODAL untuk memberikan jawaban ketika suatu saat anak menjalani seleksi wawancara.

Selamat menemai anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Praktisi Psikologi Industri dan Komunikasi. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi - anggota Himpunan Psikologi Indonesia.

Dapat dihubungi di nomor HP 082 322 678 579, e-mail : constantinus99@gmail.com, FB : Si Jurai Constantinus. Alamat surat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang 50149.

Selasa, 15 April 2014

Belajar dari Toko Ban BRIDGESTONE




Belajar di TOMO (Toko Model) Ban Mobil merek Bridgestone "Manggala Cipta Manunggal" Jalan Jendral Sudirman 137 (sebelah Pasar Karangayu) Semarang

----------



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca setia blog Holiparent yang terkasih,

Hari ini saya ke Tomo (Toko Model) Ban Bridgestone yang ada di Jalan Jendral Sudirman 137 (sebelah Pasar Karangayu) Semarang. Kebetulan, ban mobil Katana kesayangan istri saya sudah rusak karena memang sudah saatnya diganti dengan yang baru.



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak yang terhormat,

Seperti biasa, saya tidak bermaksud untuk mempromosikan merek ban tertentu atau toko ban tertentu. Tulisan kali ini saya buat, karena saya melihat ada yang menarik untuk kita (para orang tua) simak bersama, tentang bagaimana menampilkan "value" atau "nilai luhur" dari sebuah kegiatan. Dalam hal ini, TOMO Ban Bridgestone bukan hanya menjual ban dengan pelayanan karyawan yang ramah, informatif, dan cekatan, tetapi juga di dinding-dindingnya penuh dengan "majalah dinding" yang sangat memperkaya wawasan pengetahuan dan memunculkan rasa kagum bahwa "ban mobil = teknologi yang dirancang dengan ilmu alam yang sangat baik" (utamanya : Fisika). Ini tentu saja dapat menjadi bahan obrolan kita (para orang tua) dengan anak-anak kita, tentang sebuah contoh nyata bagaimana sebuah kegiatan (Toko Ban) mengedepankan "value" atau "nilai luhur"-nya, yaitu bukan semata-mata berjualan dan memasang ban mobil, tetapi juga memberikan pengetahuan tentang per-ban-an.



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak pembaca setia blog inspirasi pendidikan kreatif Holiparent di mana saja berada,

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bagaimana Toko Model Ban Bridgestone memberikan "nilai tambah" kepada orang-orang yang datang ke toko tersebut, di bawah ini saya tampilkan foto-foto dari "majalah dinding" yang sangat informatif, yang ada di toko ban tersebut.



Semoga bermanfaat bagi kita dalam menemani anak-anak kita, dalam rangka pendidikan dan kesiapan mental mereka memasuki dunia kerja nantinya : bahwa harus selalu ada "value" / "nilai luhur" dan "nilai tambah" dalam sebuah kegiatan, sehingga memiliki "keunggulan bersaing" terhadap orang lain / toko lain, dan juga bermanfaat bagi siapa saja yang terlibat di dalamnya. Bekerja (jadinya) selalu lebih cerdas, bukan hanya lebih keras.



Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial, Praktisi Psikologi Industri. Ilmuwan Psikologi - Anggota Himpunan Psikologi Indonesia
HP : 082 322 678 579
E-mail : constantinus99@gmail.com
Rumah : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang 50149
FB : Si Jurai Constantinus

Senin, 14 April 2014

Tentang Cita-Cita


Ibu dan Bapak Yth.,

Dalam blog inspirasi pendidikan kreatif edisi kali ini, saya akan men-sharing-kan pengalaman tentang cita-cita anak. Sebenarnya, ini juga termasuk men-sharing-kan pengalaman saya sendiri tentang cita-cita dan bagaimana kenyataannya.

Ibu dan Bapak Yth.,

Saya akan lebih dahulu menceritakan cita-cita saya. Ketika masih SD, saya (seperti kebanyakan anak kecil lainnya) bercita-cita menjadi pilot pesawat terbang. Saya bilang kepada ibu saya, bahwa beliau akan saya ajak serta dalam pesawat yang saya kemudikan. Supaya tidak takut, beliau akan saya beri kursi khusus di bagian belakang pesawat dan dilengkapi dengan selendang yang biasa dipakai untuk menggendong bayi (kebiasaan di daerah Semarang, tempat tinggal saya : bayi --- termasuk saya dulu --- digendong dengan memakai selendang yang terbuat dari kain batik yang "seharusnya" diperuntukkan untuk "bawahan" pakaian tradisional "kebaya" Jawa). Lucu, tetapi inilah cita-cita masa kecil (belum sekolah). Dan sampai saya sudah kuliah, ibu saya masih senang menceritakan cita-cita saya sewaktu masih kecil ini, yang menunjukkan bahwa ibu begitu senang : meskipun cita-cita itu tidak masuk akal (mana mungkin seorang pilot selalu mengajak ibunya turut serta di dalam pesawat yang dikemudikannya), tetapi menurut ibu saya, bahkan di dalam bercita-cita, saya tidak melupakan beliau.

Ketika saya SD kelas V atau kelas VI, cita-cita saya berubah. Saya ingin menjadi penuilis. Saat SMP, saya tetap ingin menjadi penulis, dan juga ilmuwan. Ketika SMA (di SMA Kolese Loyola Semarang, saya aktif berorganisasi dan ber-teater), saya tetap ingin menjadi penulis, dan sekaligus menjadi sopir sambil kuliah. Mengapa demikian ? Karena ayah saya adalah seorang sopir, dan secara keuangan hidup kami pas-pasan. Karena itu, ketika SMA kelas III, saya sudah punya SIM A, sebagai persiapan untuk melamar jadi sopir setelah saya lulus SMA. Saya justru tidak punya SIM C, karena saya tidak punya sepeda motor.

Setelah lulus SMA, saya tidak jadi melamar kerja sebagai sopir. Saya bekerja sebagai salesman (berjalan kaki) untuk berjualan buku ensiklopedi, kemudian menjadi agen asuransi, dan selanjutnya menjadi guru les privat (sambil saya kuliah di Perikanan Undip). Pekerjaan-pekerjaan itu saya pilih karena secara praktis memenuhi kebutuhan hidup saya (mendapatkan penghasilan) dan tidak mengganggu cita-cita saya menjadi seorang sarjana (saya sangat suka dan menikmati kuliah-kuliah Ekologi yang ada di Perikanan Undip, yang penuh dengan praktikum di laut selama berhari-hari). Tentu saja, saya tetap menulis, dan tulisan-tulisan saya (cerpen, pengetahuan populer) dimuat di surat kabar dengan nama samaran. Wah, rasanya bangga sekali.

Ketika kuliah di Perikanan Undip, saya bercita-cita menjadi Ilmuwan Ekologi di kapal penelitian. Untuk itu, setelah lulus sebagai sarjana, saya ingin melanjutkan pendidikan di Politeknik Ilmu Pelayaran (dulu namanya masih Balai Pendidikan dan Latihan Pelayaran disingkat BPLP ) milik Departemen Perhubungan, karena dosen kuliah Navigasi saya adalah Captain Arso Martopo yang saat itu menjadi Direktur BPLP.

Tetapi ketika lulus sarjana, kebetulan ibu dipanggil menghadap Tuhan Yang Mahaesa. Ayah saya berkata, kalau bisa, saya mencari kerja di dekat rumah saja. Kebetulan, saat itu Bank BNI membuka lowongan kerja. Maka, saya pun memdaftar, dan setelah menjalani tahapan-tahapan tes yang seluruhnya memakan waktu 3 bulan, saya dinyatakan diterima.

Itu adalah sharing pengalaman saya pribadi, dari yang penuh dengan khayalan di masa pra sekolah, sampai ke masa kuliah yang semakin realistis.

Ibu dan Bapak Yth.,

Anak saya semata wayang, dulu bercita-cita menjadi astronot ketika masih kecil. Sekarang, pada saat wawancara penerimaan murid baru di SMA Kolese Loyola, cita-citanya adalah menjadi seorang Ekolog alias Ilmuwan Ekologi. (Dan dia sudah diterima sebagai murid baru di SMA Kolese Loyola tahun ajaran 2014 / 2015 dengan cita-cita itu).

Seorang teman baik saya bercerita bahwa teman anaknya bertanya kepadanya, pekerjaan apa yang nantinya mudah menghasilkan uang (anak itu juga kelas IX alias kelas III SMP, seusia dengan anak saya).

Ibu dan Bapak Yth.,

Dari cerita-cerita di atas, dapat kita lihat bahwa cita-cita setiap orang berbeda-beda, yang pasti harus MENYENANGKAN dan membuatnya BERSEMANGAT MENJALANI HIDUP. Pada kenyataannya, ada sebagian cita-cita yang terwujud (saya tetap bisa "hidup" dalam arti punya penghasilan dan banyak teman dengan menjadi penulis, sesuai cita-cita saya sejak kelas V atau VI SD), tetapi sekarang ini saya juga senang menjalani hidup sebagai orang yang bekerja di bidang psikologi industri (padahal dulunya saya ingin menjadi ilmuwan di laut).

Apa yang bisa kita renungkan dari tulisan ini adalah : biarkan anak kita bercita-cita, dan kita sebagai orang tua selalu menemani dalam DOA dan secara nyata sebagai TEMAN TERBAIK BAGI ANAK.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Dapat dihubungi via nomor HP 082 322 678 579 atau e-mail : constantinus99@gmail.com atau FB : Si Jurai Constantinus. Alamat surat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang.


Minggu, 13 April 2014

Jangan menuntut anak untuk melakukan apa yang tidak kita lakukan


Ibu dan Bapak Yth.,

Baru-baru ini saya diajak diskusi panjang lebar oleh seorang pemilik perusahaan. Pemilik perusahaan ini sangat tidak suka dengan anak buahnya yang bekerja tidak detail  / teliti / tertib secara administrasi, yang mana hal ini menyebabkan perusahaannya mengalami kesulitan-kesulitan karena digugat oleh relasi-relasi bisnisnya (apa yang sudah dijanjikan kepada relasi bisnis tidak dapat dipenuhi karena administrasi yang tidak tertib / detail / teliti, sehingga kacau / lupa memenuhi janji).

Seperti biasa, sebagai seorang pemberi advis, saya menyimak baik-baik apa yang dikatakan oleh pemilik perusahaan itu. Setelah itu, saya melakukan observasi : bagaimana situasi dan kondisi di perusahaan itu, sehingga karyawan bisa tidak tertib administrasi seperti itu.

Hasil observasi yang saya lakukan cukup membuat saya tersenyum dalam hati. Ternyata pemilik perusahaan sendiri juga tipe orang yang tidak tertib administrasi dan tidak detail. Maka, dicontohlah perilaku ini oleh para anak buahnya. Artinya, budaya yang ada di sana memang tidak tertib / tidak detail, karena orang yang menjadi contoh / panutan juga demikian.

Tentu saja, saya menyampaikan kepada pemilik perusahaan itu bahwa hal ini menyangkut "budaya kerja" baru yang akan diterapkan di perusahaan miliknya. Semua orang harus berubah, harus siap dengan "budaya kerja" yang baru ini. Termasuk pemilik perusahaan harus berubah, karena justru menjadi contoh / panutan.

Pemilik perusahaan kemudian bertanya kepada say, apa memang harus begitu. Saya menjawab, ya. Karena pemilik perusahaan di sini masih memimpin langsung anak buahnya dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Tidak mungkin anank buahnya disuruh berubah, tetapi pemilik perusahaan yang sekaligus pemimpinnya justru tidak berubah.

Ibu dan Bapak Yth.,

Saya lalu teringat pada hubungan orang tua dan anak di rumah. Saya teringat bahwa dulu saya adalah seorang perokok. Saya merokok sejak saya masih SMA. Saat kuliah saya perokok. Saat bekerja di Bank BNI, saya perokok berat. Kemudian saya berhenti merokok ketika saya punya anak. Anak saya mulai menirukan apa saja yang saya lakukan. Termasuk meniru membuat rokok-rokok-an. SAYA TIDAK ANTI ROKOK. SAYA MENGHORMATI PILIHAN TEMAN-TEMAN SAYA UNTUK MENJADI PEROKOK. TETAPI SAYA MEMILIH UNTUK TIDAK MEROKOK. Dan kepada anak saya, karena dia seorang perempuan, saya berharap bahwa dia tidak merokok. Oleh karena itu, saya harus HARUS MEMBERI CONTOH dengan berubah dari seorang perokok menjadi tidak merokok.

Ibu dan Bapak Yth.,

Sekali lagi, inti dari tulisan ini bukan pada merokok atau tidak merokok (saya tahu bahwa hal ini sangat sensitif, dan saya punya prinsip bahwa itu adalah HAK MASING-MASING ORANG UNTUK MENENTUKAN PILIHAN : mau merokok atau mau tidak merokok), tetapi inti dari tulisan ini adalah bahwa KITA HARUS BERUBAH DAN MENJADI CONTOH bagi anak (dan juga anak buah) supaya mereka melakukan apa kita harapkan HARUS MEREKA LAKUKAN. Adalah tidak mungkin menyuruh anak melakukan apa yang kita sendiri tidak melakukannya.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana Ilmu Alam dan Sarjana Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Mahasiswa Profesi Psikologi pada Universitas Katholik Soegijapranata Semarang. Dapat dihubungi lewat HP 082 322 678 579, e-mail : constantinus99@gmail.com, atau surat ke alamat : Jalan Anjasmoro V nomor 24 Semarang 50149.

Jumat, 11 April 2014

Prestasi anak ketika SD - SMP - SMA mewarnai prestasinya di dunia kerja


Ibu dan Bapak Pembaca setia Blog Inspirasi Pendidikan Kreatif "Holiparent" yang saya hormati,

Dalam salah satu kuliah di Program Profesi Psikologi Industri dan Organisasi, saya berkesempatan melakukan penelitian secara kualitatif. Yang menjadi para sukarelawan untuk diteliti adalah para karyawan yang memiliki Star Performance atau prestasi kerja yang baik, sehingga wajar apabila dalam usia yang masih 28-30 tahunan mereka sudah menduduki posisi jabatan manajerial.

Ibu dan Bapak Yth.,

Yang ingin saya sharingkan dalam edisi "Holiparent" kali ini adalah data yang saya dapatkan bahwa karyawan-karyawan yang mempunyai Star Performance ini ternyata sudah memiliki prestasi dalam arti menonjol secara positif sejak mereka masih duduk di bangku SD, SMP, atau SMA. Memang, mereka ini juga memiliki gelar Sarjana, bahkan ada yang mempunyai gelar Master. Tetapi saya memang tertarik untuk meneliti secara kualitatif tentang mereka ketika SD, SMP, atau SMA, karena memang mereka ternyata sudah menonjol secara positif sejak taraf pendidikan itu.

Ibu dan Bapak Yth.,

Kalau saya mengatakan "prestasi" dalam tulisan ini, mohon jangan diartikan sebagai memenangkan lomba di tingkat kota / kabupaten, propinsi, atau nasional. Tidak. Prestasi yang saya maksudkan di sini adalah menonjol secara positif di sekolah masing-masing. Misalnya, ada yang sejak SD sudah terkenal menjadi juara baca puisi di sekolahnya, sehingga diberi kepercayaan oleh sekolahnya untuk mewakili sekolahnya dalam lomba baca puisi di tingkat kecamatan. Di sini, anak merasa bahwa DIA MEMILIKI SESUATU yang berbeda dari orang lain, dan itu BAIK UNTUK DIRNYA dan BAIK UNTUK ORANG LAIN pula.

Ada yang memang memiliki prestasi yang menonjol secara akademik, sehingga menjadi "bintang kelas". Ini mendorong dia untuk berani merantau ke kota lain setelah lulus SMP, demi menempuh pendidikan di SMA yang baik (yang tidak ada di desa tempat tinggalnya). Dia dengan demikian memiliki HASRAT UNTUK BERJUANG demi mewujudkan impiannya.

Ibu dan Bapak Yth.,

Saya melihat bahwa apa yang DIMILIKI oleh anak sejak SD, SMP, dan SMA ini akan DIBAWA olehnya ketika dia sudah dewasa dan bekerja (memasuki dunia kerja). Ketika anak sudah dewasa / sudah bekerja, tentu sebagai orang tua kita tidak lagi membimbing dia seperti pada saat dia masih SD, SMP, atau SMA. Tetapi dengan demikian kita justru bisa melihat betapa pentingnya bimbingan yang kita berikan sebagai orang tua kepada anak pada saat anak masih SD, SMP, dan SMA : supaya anak berprestasi (bukan dalam arti harus memenangkan lomba, tetapi dalam arti bahwa anak menonjol dalam arti positif, terserah dalam BIDANG APA SAJA, yang penting bermanfaat bagi DIRINYA dan juga bagi ORANG LAIN).

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

Semoga kita semua selalu dalam berkat dan lindungan Tuhan Yang Mahaesa. Amin.


-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Dapat dihubungi lewat HP :  082 322 678 579, FB : Si Jurai Constantinus, e-mail : constantinus99@gmail.com.

Kamis, 10 April 2014

Tipologi X dan Tipologi Y



Selamat pagi, Ibu dan Bapak Yth.,

Setidaknya, itulah yang memang harus saya katakan sebagai salam pembuka, karena saya menulis blog edisi kali ini mulai pk 00.52 WIB.

Ada kerinduan untuk menulis di blog ini setiap kali saya mampir untuk melihat : sudah berapa kali blog ini dibaca oleh Ibu dan Bapak di mana saja berada.

Ibu dan Bapak Yth.,

Sebagaimana sudah saya ceritakan dalam beberapa edisi yang lalu, kesibukan saya menjalani kuliah di bidang profesi psikolog membuat saya agak kesulitan untuk menulis di blog ini setiap hari. Bagaimana pun, keinginan untuk menulis itu selalu muncul, karena membuat saya mempunyai banyak teman di mana-mana.

Ibu dan Bapak Yth.,

Beberapa hari yang lalu, saya diajak berdiskusi oleh seorang pemilik perusahaan. Nyonya Pengusaha ini cemas dengan apa yang terjadi pada perusahaannya. Beberapa orang karyawan yang diberi kepercayaan ternyata menyalahgunakan kepercayaan itu pada saat tidak diawasi. Nyonya Pengusaha itu bertanya, apakah tindakannya memberikan pelatihan merupakan langkah yang salah, karena pada saat tidak diawasi (dan hanya diberi pelatihan), ternyata ada karyawan yang memanfaatkan kesempatan tanpa pengawasan itu untuk bertindak semaunya ?

Ibu dan Bapak Yth.,

Menjawab pertanyaan Nyonya Pengusaha tersebut, saya kemudian bercerita tentang Douglas Mc Gregor yang mengatakan bahwa ada manusia yang punya kecenderungan melakukan yang jelek-jelek, dan ada juga yang cenderung melakukan yang baik-baik. Yang  cenderung melakukan yang jelek-jelek disebut tipe X, sedangkan yang cenderung melakukan yang baik-baik disebut tipe Y. Adalah tidak bijaksana kalau semua orang kita sama ratakan sebagai tipe X dan selalu harus diawasi / dimarahi. Sebaliknya, adalah tidak bijaksana juga kalau semua orang kita sama ratakan dengan diperlakukan sebagai tipe Y (diberi pelatihan motivasi dan sejenisnya) tanpa ada pengawasan (tidak pernah dimarahi). Mengapa ? Karena dalam sekumpulan orang (karyawan), pasti ada yang tipe X dan ada yang tipe Y. Oleh karena itu kita harus selalu siap dengan penanganan untuk tipe X (mengawasi, memarahi) dan juga siap dengan penanganan untuk tipe Y (motivasi, dorongan, penghargaan). Lebih penting lagi, jangan sampai kita salah yaitu terbalik dalam memberikan perlakuam / penanganan : orang tipe X justru dimotivasi (tidak akan manjur, karena dia tetap akan berbuat semaunya) sedangkan orang tipe Y justru diawasi dan dimarahi (dia akan merasa tidak dipercaya dan justru menjadi kecewa).

Ibu dan Bapak Yth.,

Anak-anak kita pun tentunya ada yang bertipe X dan ada yang bertipe Y. Apakah kita sudah memberikan perlakuan yang cocok dengan tipe yang dimiliki anak-anak kita ? Bisa jadi, kakaknya tipe X sedangkan adiknya tipe Y; atau sebaliknya. Karena itu, tidak bisa disamaratakan begitu saja.

Selamat menemani anak.
"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia. Dapat dihubungi lewat nomor HP 082 322 678 579 atau e-mail : constantinus99@gmail.com atau FB : Si Jurai Constantinus.