Rabu, 24 Juli 2013

MENGENANG ALMARHUM DOKTER GONDO KRESNANTO


Malam ini saya mengantar anak periksa ke Dokter Mexitalia di Rumah Sakit Hermina di Jalan Pandanaran Semarang. Meskipun anak saya besok 1 Oktober 2013 sudah berusia 14 tahun, saat ini kalau ke Dokter Spesialis masih harus ke Dokter Spesialis Anak karena umurnya belum genap 14 tahun. Begitu kata adik ipar saya (dia ini Dokter Spesialis Penyakit Dalam). Dan memang begitu aturannya : di bawah 14 tahun berarti masih kanak-kanak.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sambil menunggu giliran diperiksa, saya (seperti halnya semua pasien lainnya) duduk-duduk di ruang tunggu pasien. Ada banyak anak-anak di sana (menunggu dipanggil untuk diperiksa). Dan tiba-tiba saja saya jadi ingat di tahun 1970-an akhir sampai 1980-an awal, saat saya masih SD -SMP kalau sakit diantar orang tua periksa ke Dokter Gondo.

Ya, nama dokter langganan saya adalah Dokter Gondo Kresnanto. Dokter Umum lulusan dari SMA Kolese Loyola kemudian meneruskan kuliah di Fakultas Kedokteran Undip.

Dokter Gondo ramah dan sabar. Saya merasa "langsung sembuh" kalau diperiksa oleh Dokter Gondo.

Tahun 1998 Dokter Gondo dipanggil Tuhan. Saya selalu terkenang akan kebaikannya. Semoga Dokter Gondo mendapatkan tempat yang damai di surga. Amin.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sharing kali ini sebenarnya adalah tentang ini : anak akan membawa kenangan-kenangan indah di masa kecil, dan itu akan MENGINSPIRASI dia sampai ketika dia dewasa kelak. Saya terkesan oleh Dokter Gondo, terkesan akan kebaikannya, dan ingin menjadi orang baik YANG MENOLONG SESAMA seperti Dokter Gondo. Memang, saya tidak menjadi seorang dokter (sebab sejak SMA saya sudah sadar diri bahwa saya tidak suka praktikum bedah-membedah Biologi). Saya lebih memilih belajar / kuliah Fisika Kelautan / Perairan di Perikanan Undip. Dan, meskipun akhirnya saya hidup / bekerja di bidang Manajemen dan Psikologi, ide / ketertarikan tentang "menolong sesama" dengan ilmu / pekerjaan yang dimiliki ini "tidak lekang oleh waktu".

Selamat menemani anak.

Semoga anak kita memiliki banyak kesan / kenangan tentang perjumpaannya dengan "orang-orang yang menolong sesama".

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Selasa, 23 Juli 2013

Menemani Anak : SENDOK SAYUR untuk PRAKTIKUM SEDERHANA tentang CERMIN CEKUNG & CERMIN CEMBUNG



"SELAMAT HARI ANAK NASIONAL
23 JULI 2013"

Setiap kali mendengar kata PRAKTIKUM, pikiran kita (sebagai orang tua) dan juga anak kita biasanya langsung membayangkan ini : alat peraga yang sangat banyak, bekerja di dalam ruangan tertutup (ruang laboratorium), dan memakai jas praktikum yang berwarna putih.

Memang, salah satu KONDISI praktikum adalah seperti itu, yaitu praktikum di dalam ruang laboratorium.

Tetapi, tidak semua praktikum HARUS DILAKUKAN DI DALAM RUANGAN seperti itu. Saya berani mengatakan hal ini karena sebagai mahasiswa PERIKANAN UNDIP di tahun 1989-1994, saya memang sering sekali PRAKTIKUM DI LAUT dan juga DI PERAIRAN SUNGAI serta WADUK, selain tentu saja ada praktikum di dalam RUANG LABORATORIUM.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Yang mau saya sharing-kan adalah ini : bahwa di tempat terbuka sekalipun, kita bisa MENEMANI ANAK MELAKUKAN PRAKTIKUM dengan apa yang kita temui sehari-hari. Karena sebenarnya hakekat praktikum adalah MEMAHAMI SESUATU dengan PENGALAMAN secara PRAKTIS (melakukan PRAKTEK, bukan menghafal), dan karena itu disebut PRAKTIKUM.

Entah itu di luar ruangan atau di dalam ruangan, entah itu memakai alat-alat sederhana (yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari) maupun alat-alat canggih (alat-alat khusus di laboratorium), kalau anak MEMAHAMI SESUATU dengan PENGALAMAN secara PRAKTIS (mem-PRAKTEK-kan sesuatu), maka itu namanya PRAKTIKUM.

Jadi, ada banyak hal di mana kita sebagai orang tua dapat menemani anak melakukan PRAKTIKUM dalam kehidupan SEHARI-HARI. Praktikum dengan demikian menjadi suatu KEBIASAAN, yaitu kebiasaan untuk melakukan PENGAMATAN guna mendapatkan atau menambah PENGETAHUAN dengan MEMAHAMI sesuatu (bukan sekedar MENGHAFAL).

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Bagi yang sudah memiliki anak di bangku SMP, salah satu materi pelajaran di bidang IPA adalah tentang CERMIN. Nah, biasanya ada KESULITAN dalam MENGHAFAL : bayangan di cermin cembung itu terbalik atau tegak, bayangan di cermin cekung itu terbalik atau tegak. Memang sih, kalau membaca TEORI-nya, harus diperhatikan BANYAK HAL : benda di ruang berapa, bayangan di ruang berapa, sifat bayangannya bagaimana.

Memang, MENGHAFAL itu perlu. Tetapi menghafal tanpa MEMAHAMI, akan membuat anak memiliki KEBIASAAN bahwa apa yang DIHAFAL itu sebenarnya TIDAK DIPAHAMI. Padahal sesuatu yang TIDAK DIPAHAMI maka akan SULIT DIPRAKTEKKAN dalam MENGATASI masalah dalam kehidupan (pekerjaan) sehari-hari. Kita perlu menemani anak kita sejak masih SD / SMP supaya anak menguasai TEORI sekaligus juga PRAKTEK dan PEMAHAMANNYA sehingga anak dapat MENERAPKAN dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang praktisi di bidang "human resources", saya sudah sering sekali bertemu orang (dewasa) yang pandai BERTEORI tetapi tidak mampu MENERAPKAN TEORI guna MEMECAHKAN MASALAH yang dihadapi karena dia TIDAK PAHAM (karena dia sekedar MENGHAFAL TEORI saja).



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sambil belanja di Giant Supermarket di kawasan Puri Anjasmoro Semarang, anak, istri, dan saya ISENG-ISENG melihat ada alat-alat dapur yang dijual. (Saya selalu bilang kepada anak : ISENG itu BOLEH saja asal KREATIF dan TIDAK MENGGANGGU orang lain / lingkungan, lho....)

Nah, pada foto pertama dalam edisi kali ini, terlihat ke-ISENG-an kami yang menggunakan salah satu alat dapur yang dijual di Giant Supermarket (yaitu SENDOK SAYUR) sebagai PERAGAAN / PRAKTIKUM CERMIN CEKUNG. Bayangan yang dihasilkan oleh cermin cekung adalah TERBALIK !

Pada gambar kedua, terlihat hal yang berbeda : bayangan yang dibentuk oleh CERMIN CEMBUNG (peragaan / praktikum tetap menggunakan alat masak yang sama, yaitu SENDOK SAYUR) adalah TEGAK. Ini seperti pada KACA SPION MOBIL.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Dengan PRAKTIKUM-PRAKTIKUM SEDERHANA dan BISA DILAKUKAN SETIAP SAAT menggunakan benda-benda yang kita temui dalam hidup sehari-hari seperti ini, selain MENAMBAH PEMAHAMAN ANAK tentang teori-teori ilmu / pengetahuan yang didapatnya di sekolah, juga MEMBIASAKAN ANAK untuk selalu MENAMBAH PENGETAHUAN dari barang-barang SEDERHANA.

Nah, kalau anak sudah memiliki PERSEPSI bahwa belajar itu MUDAH dan MENYENANGKAN karena sebenarnya bisa DIPAHAMI dengan barang-barang yang SEDERHANA, semoga anak menjadi LEBIH BERSEMANGAT ketika harus MENGHAFAL TEORI karena anak sudah punya BAYANGAN / GAMBARAN tentang BAGAIMANA hal itu memang TERJADI / ADA dalam kehidupan SEHARI-HARI (misalnya : tentang bayangan yang dibentuk oleh cermin cekung dan cermin cembung). Anak jadinya punya bayangan / gambaran bahwa belajar itu TIDAK IDENTIK dengan MENGHAFAL SETUMPUK BUKU TEORI saja, tanpa tahu bagaimana APLIKASINYA.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922.

Senin, 22 Juli 2013

Menemani Anak : NOSTALGIA KODE ETIK MAIN LAYANG-LAYANG




"Layangan," kata saya kepada istri saya, sambil menunjuk setumpuk layang-layang yang dijual di toko milik teman saya di Jalan Abimanyu Gang V Semarang. Dalam Bahasa Jawa, "layang-layang" disebut dengan "layangan".

Lalu, saya jadi ingat tahun 1970-an, ketika saya masih SD... ketika saya masih senang-senangnya bermain layang-layang....

Tahun 1970-an, ketika saya masih SD, ada toko yang sangat terkenal dalam membuat dan menjual layang-layangan serta "benang gelasan" (benang yang sudah diproses "khusus" sehingga menjadi tajam dan siap untuk dipakai bermain layang-layang, termasuk untuk "ampatan" (Bahasa Jawa) yang artinya : saling berusaha memotong benang layang-layang orang lain sampai salah satu (atau kedua) layang-layang.....putus benangnya !). Toko itu terletak di Jalan MT Haryono nomor 530 Semarang. Namanya "Toko 530". Dibaca : "Ma Ga Nol" alias "Lima Tiga Nol". Di zaman saya SD dulu (tahun 1970-an itu), layang-layang dan benang gelasan merek "530" sangat terkenal... sangat bagus kualitasnya (bagi saya dan teman-teman sebaya saat itu). Kebetulan juga, tempo hari, di tahun 2012, saya lewat Jalan MT Haryono Semarang dan sempat melihat bahwa "Toko 530" itu masih ada... dan masih menjual layang-layang dan benang gelasan juga.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Barangkali Ibu-Ibu memang tidak familiar dengan layang-layang, tetapi saya yakin Bapak-Bapak pasti punya kenangan indah tentang bermain layang-layang.


Saya baru-baru ini bercerita kepada anak saya (anak tunggal saya perempuan, tetapi waktu masih SD kelas 3 suka main layang-layang dengan saya dan saudara-saudara sepupunya yang semuanya laki-laki) tentang  KODE ETIK dalam bermain layang-layang. (Sekarang anak saya sudah kelas 9 alias kelas 3 SMP... sudah tidak main layang-layang lagi....)



Saya bercerita kepada anak saya bahwa KODE ETIK itu antara lain :
(1) Kalau layang-layang memakai ekor, maka layang-layang itu tidak boleh "di-ampat" alias tidak boleh diajak bertarung.
(2) Ketika mengejar layang-layang putus (sambil berteriak "WC...WC...WC..." ha...ha...ha...) maka yang berhak mendapat layang-layang putus adalah ANAK YANG PERTAMA BISA MENANGKAP BENANG layang-layang putus itu. Jadi, kalau benangnya sudah ada yang menangkap, maka anak lain yang berhasil mendapatkan (tepatnya : merebut, karena prosesnya memang penuh dengan perebutan benang layang-layang putus) layang-layang putus itu DIANULIR alias batal menjadi  pemilik layang-layang. Bagaimana kalau dia main curang : artinya, dia yang berhasil menangkap layang-layang (bukan benangnya yang menjuntai panjang)  itu diam-diam memutus benangnya ? Wah... resikonya besar.... Bisa-bisa dia DIKEROYOK dan DIPUKULI beramai-ramai karena MELANGGAR KODE ETIK !



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa melakukan PENGEROYOKAN seperti yang saya dan teman-teman lakukan di tahun 1970-an  itu baik. Sekali-kali tidak ! Di zaman sekarang, kalau masih ada pengeroyokan seperti itu, bisa-bisa orang tua TIDAK TERIMA dan berlanjut ke LAPORAN kepada POLISI.

Zaman sudah berubah, dan saya SETUJU bahwa pengeroyokan memang TIDAK BOLEH. Titik.

Tetapi yang mau saya sharing-kan adalah ini : dulu (di tahun 1970-an itu) SANGAT JARANG ada PELANGGARAN KODE ETIK dalam main layang-layang (setidaknya, di kampung saya, di kawasan Kelurahan Wonodri Kecamatan Semarang Selatan (dulu ketika itu masuk Kecamatan Semarang Timur) Kota Semarang). Mengapa ?

Karena semua anak yang main layang-layang tahu bahwa MELANGGAR KODE ETIK akan MENDAPATKAN HUKUMAN dari seluruh anak yang main layang-layang di kawasan itu. Selain dikeroyok, juga TIDAK PUNYA TEMAN LAGI untuk main layang-layang. Semua anak yang main layang-layang MENYADARI dan MERASAKAN MANFAAT NYATA dari Kode Etik itu : UNTUK MENJAGA KEDAMAIAN dan KENYAMANAN dalam bermain layang-layang.


Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekali lagi, zaman sudah berubah. Ada cara bermain yang di zaman saya dulu masih SD (tahun 1970-an) dianggap wajar, kalau dilakukan sekarang ini bisa berurusan dengan Polisi (misalnya : mengeroyok anak yang melanggar Kode Etik dalam bermain layang-layang). Saya setuju bahwa ini memang tidak boleh dilakukan.

Dalam tulisan kali ini, saya selain sekedar mengajak BERNOSTALGIA terutama kepada Bapak-Bapak yang dulu juga biasa bermain layang-layang, juga mengajak kita (para orang tua, baik Ibu-Ibu maupun Bapak-Bapak) untuk MERENUNG tentang NILAI PENTING dari suatu KODE ETIK bahkan sejak masih kanak-kanak yang MENJAMIN KEDAMAIAN dan KENYAMANAN, dan itu bisa DITEGAKKAN karena bagi yang melanggar akan dikenai HUKUMAN YANG NYATA dan sifatnya SEGERA.

Tentu saja, KODE ETIK di masa main layang-layang ketika masih kanak-kanak TIDAK MENJAMIN bahwa ketika seseorang menjadi DEWASA maka dia akan menjadi orang yang selalu menjunjung tinggi Kode Etik yang harus ditaatinya dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ada banyak hal yang membuat orang dewasa menjadi tidak taat pada Kode Etik yang harus ditaatinya.

Ah, saya hanya sekedar mengajak BERNOSTALGIA saja kalau begitu.... Senyampang mengajak merenung bahwa KODE ETIK itu memang perlu... bahkan meskipun hanya untuk sekedar bermain layang-layang....

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Minggu, 21 Juli 2013

Menemani Anak : MENYADARI DEFINISI AWAL


Hari Minggu ini, 21 Juli 2013, kami sekeluarga belanja di Pasar Karangayu Semarang. Berjalan kaki, berkaos, bercelana pendek, dan memakai sandal jepit.

Tentu saja, tidak ada yang istimewa dengan "pergi ke pasar" ini, sebab memang ini sudah merupakan kebiasaan bagi saya. Juga bersandal jepit. Juga berkaos dan bercelana pendek.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya menuliskan ini karena hal ini : setiap kali kami (anak, istri, saya) ke pasar (maksudnya jelas : PASAR TRADISIONAL), kami selalu ngobrol tentang DEFINISI AWAL dari PASAR adalah TEMPAT BERTEMUNYA PEMBELI DAN PENJUAL di mana mereka BERTRANSAKSI jual beli. Ini adalah pelajaran IPS yang kita dapatkan waktu masih SD dulu.



Lalu obrolan berkembang. Dulu, di pasar (zaman dahulu kala) masih pakai sistem BARTER alias tukar-menukar barang. (Jadi, tidak jelas : siapa pembeli, siapa penjual. 'Kan masing-masing orang saling bertukar barang).

Setelah itu (supaya PRAKTIS, kata guru SD saya dulu) dipakailah sistem UANG. Logikanya, waktu itu semua masih CASH alias TUNAI. Belum ada sistem KREDIT.



Lalu ada sistem KREDIT. Lalu ada sistem bayar pakai sistem TRANSFER UANG. Ada KARTU DEBIT dan KARTU KREDIT. Sekarang bahkan pakai INTERNET BANKING, MOBILE BANKING, PHONE BANKING. Pasarnya sudah "pindah" di layar komputer / laptop / notebook / tablet / smartphone.

Semua itu jadi obrolan bersama, sambil jalan kaki ke pasar.

Dan ketika sudah sampai di pasar, maka bisa dirasakan bahwa DEFINISI / KONSEP PASAR TRADISIONAL itu sudah berkembang begitu jauh... dan tetap saja PASAR TRADISIONAL itu bertahan.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Memang, sambil kita melakukan aktivitas yang biasa-biasa saja, anak bisa kita ajak dan kita TEMANI untuk mempelajari dan MENYADARI perkembangan zaman. Misalnya tentang "pasar" yang saya tuliskan dalam edisi kali ini.

Nah, kalau suatu ketika anak kita ajak jalan-jalan ke MALL / SUPERMARKET, pola pikir ilmiah BELAJAR DARI PENGALAMAN yang ada di depan mata seperti ini tetap bisa dilakukan. Hanya saja, yang jadi bahan OBROLAN ILMIAH adalah tentang Mall / Supermarket.



Jadinya, anak selalu punya kebiasaan untuk BERPIKIR DAN BELAJAR dari apa saja yang DIALAMINYA SECARA NYATA dalam kehidupan sehari-hari. Belajar 'kan tidak hanya dari buku dan internet, tho ?

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Sabtu, 20 Juli 2013

Menemani Anak : Tidak meng-ADA-kan GADGET ketika ANAK sedang HADIR di depan kita



Dalam banyak kesempatan, anak, istri, dan saya ketika sedang bersama-sama di warung / rumah makan (sambil menunggu datangnya makanan yang dipesan) sengaja  mengamati PERILAKU keluarga lain (yang juga pengunjung warung makan / rumah makan itu) yang juga sama-sama sedang menunggu datangnya pesasanan makanan . 

Apa yang kami lihat adalah ini : ada banyak keluarga (anak, ibu, dan bapak) yang duduk satu meja menunggu datangnya makanan TIDAK NGOBROL BERSAMA tetap justru  MASING-MASING ASYIK DENGAN HP-NYA SENDIRI-SENDIRI ! 

Dengan demikian meskipun mereka itu DUDUK BERSAMA, mereka itu (jadi ingat pelajaran FILSAFAT yang diajarkan oleh Doktor Syaifur Rohman yang rambutnya gondrong & digelung pada saat saya masih kuliah di Fakultas Psikologi) HADIR TETAPI TIDAK ADA. 

Maksudnya begini : secara FISIK memang anak, ibu, bapak itu HADIR dalam arti : secara FISIK / BADANIAH duduk bersama dalam satu meja... Tetapi sebenarnya TIDAK ADA di dalam pikiran masing-masing  : dalam pikiran si anak TIDAK ADA ibu dan bapak, dalam pikiran ibu TIDAK ADA anak dan bapak, dalam pikiran bapak TIDAK ADA anak dan ibu....

He...he...he... Mohon maaf... Mohon maaf... Saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa...

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Apakah GODAAN untuk tetap asyik dengan HP masing-masing (atau SMARTPHONE atau TABLET atau GADGET yang lain lagi) itu tidak saya alami ?

He...he...he... Jujur saja : IYA ! Saya biasanya tergoda untuk membuka salah satu situs jejaring sosial yang saya ikuti. Juga, saya biasanya tergoda untuk membuka berita yang selalu baru dari detik ke detik. 

Nah, untuk MENGATASI godaan ini (pada saat saya sedang makan di warung bersama anak dan istri), maka smartphone yang saya bawa saya gunakan untuk MEMUTAR VIDEO YANG BISA DITONTON BERSAMA dengan anak dan istri. Intinya, godaan untuk MENGGUNAKAN gadget itu DISIASATI dengan cara MELIHAT BERSAMA : entah itu video lagu-lagu, atau video yang lucu-lucu, dan sebagainya.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekali lagi saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa. Sebab, saya pun MENGALAMI GODAAN yang sama : ingin TETAP ASYIK dengan gadget padahal ada anak dan istri. Yang penting adalah BAGAIMANA MENYIASATI-nya : dengan MENIKMATI gadget BERSAMA-SAMA. Dengan kata lain, kita memang harus menjaga KESADARAN diri untuk TIDAK KECANDUAN gadget.


Selamat menemani anak. 

Selamat meng-ADA-kan anak ketika anak HADIR di depan kita (bukan meng-ADA-kan gadget ketika anak HADIR di depan kita).

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.
  

Jumat, 19 Juli 2013

Menemani Anak - BERJIWA KSATRIA


Berjiwa ksatria. Istilah ini saya pakai karena saya tidak menemukan istilah lain yang lebih tepat dari ini untuk mengekspresikan sikap yang baik dan penuh tanggung jawab plus tegas.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya mengangkat topik ini sebagai hal yang layak disampaikan kepada anak kita (setiap kali kita menemani mereka) demi kebaikan anak kita : sebab pada kenyataannya tidak ada yang suka dengan orang yang PENGECUT (sebagai lawan kata dari KSATRIA), karena itu anak kita ditemani dan diarahkan untuk MEMUPUK JIWA KSATRIA sejak sekarang.

Sikap ksatria itu intinya KONSEKUEN, BERTANGGUNG JAWAB, TEGAS. Bukan cari aman dan plinthat-plinthut (= kalau ngomong mencla-mencle alias tidak konsisten).

Pertanyaannya : mengapa anak perlu punya jiwa ksatria ?

Karena ini akan membuat anak tumbuh dan berkembang sebagai pribadi yang matang dan dewasa (sesuai dengan perkembangan umurnya). Hal ini akan membuat anak memiliki teman, justru karena anak BERANI BERSIKAP. Anak bukan menjadi individu yang PERAGU karena SELALU INGIN AMAN / SELAMAT.

Memang, bersikap ksatria bukan berarti lalu bertindak NGAWUR TANPA PERHITUNGAN. Maksudnya adalah anak TIDAK LEPAS TANGAN / MELARIKAN DIRI di saat mengalami kesulitan.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya pernah bertemu (dalam arti : bekerja satu tim) dengan orang yang tidak berjiwa ksatria. Semua orang dalam tim itu (termasuk saya) justru JENGKEL setiap kali orang ini hadir / terlibat. Jadi, bukan hanya kehadirannya TIDAK BERMAKNA, tetapi bahkan kehadirannya MENIMBULKAN KEKACAUAN / KETIDAKPAATIAN. Mengapa ? Karena kalau ngomong selalu "mengambang" alias tidak jelas keputusannya. Tidak pernah detail dan tidak pernah berinisiatif. Pun tidak berani mengambil keputusan. Pokonya : lebih baik dia tidak ada daripada ada. Ini yang terjadi di tim.

Tentu saja, hal ini masih dapat diperbaiki. Tetapi itu memang memerlukan waktu, tenaga, dan biaya.

Jadi, kenapa tidak kita membimbing anak kita untuk berjiwa ksatria sejak kecil ?

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Repro foto "Bima Satria Garuda" dari Koran Suara Merdeka edisi Minggu tanggal 21 Juli 2013 oleh Constantinus Johanna Joseph.

Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Kamis, 18 Juli 2013

Menemani Anak - BELAJAR "PUBLIC SPEAKING" & "LOGIKA BERPIKIR"


Baru-baru ini saya diminta oleh seorang kenalan (dia ini seorang pengusaha / pemilik perusahaan) untuk menjadi Tim Penilai sekaligus memberikan saran-saran bagi anaknya dalam melakukan Latihan / Persiapan Presentasi Jabatan. Ceritanya, anak dari kenalan saya ini sedang melamar sebagai karyawan di sebuah perusahaan besar di Indonesia (milik orang lain, bukan milik orang tuanya), dan dalam proses Seleksi Penerimaan Karyawan Baru diharuskan untuk mem-presentasi-kan penelitian yang sudah dilakukan (yang merupakan tugas akhir ketika kuliah di luar negeri dulu).

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sebagai seorang Praktisi Human Resources yang dalam keseharian berkutat dalam manajemen perusahaan (utamanya COMPETITIVE ADVANTAGE / keunggulan bersaing dan KADERISASI dari generasi ke generasi terkait TEAM BUILDING di berbagai perusahaan), dan di lain pihak juga menjadi pemerhati dunia PENDIDIKAN & PENGEMBANGAN KREATIVITAS ANAK, saya memang selalu mengajak semua orang untuk merenungi dan menyadari bahwa sudah sewajarnya SEJAK DINI kita MENEMANI ANAK kita sesuai perkembangan usianya untuk MENGAITKAN apa saja yang kita CERITAKAN / KENALKAN kepada anak dengan KEGUNAANNYA pada saat dia dewasa kelak (= memasuki dunia kerja). Singkat kata, MEMBEKALI ANAK secara terarah sehingga BEKAL yang dibawanya kelak ketika memasuki dunia kerja sudah MENCUKUPI.

Saya memang secara jelas dan tegas mengatakan bahwa SEKOLAH ITU HARUS. Tetapi saya juga mengatakan secara jelas dan tegas bahwa SEKOLAH SAJA (termasuk di dalamnya : KULIAH) BELUM CUKUP.

Anak SELAIN DISEKOLAHKAN juga perlu DITEMANI supaya LOGIKA BERPIKIRNYA dalam kehidupan dan bertanya jawab dalam KEHIDUPAN SEHARI-HARI berkembang dengan baik.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

DUKUNGLAH ANAK UNTUK MEMILIKI KEGIATAN YANG SIFATNYA KERJA TIM. Entah di kegiatan sekolahnya, entah di lingkungan masyarakat tempat tinggalnya. PENGALAMAN BERORGANISASI itu penting. Entah itu menjadi Pengurus OSIS, menjadi Pengurus Majalah Sekolah, menjadi Pengurus Karang Taruna, menjadi Pengurus Group Band, menjadi Pengurus Kelompok Paduan Suara, aktif di Regu Pramuka, dan sebagainya.

Dengan menjadi PENGURUS atau AKTIVIS kegiatan-kegiatan seperti itu, anak memiliki PENGALAMAN secara praktis dalam BERHUBUNGAN / BEKERJA SAMA dengan orang lain, anak memiliki KEMAMPUAN BERPIKIR dan BERBICARA yang TERASAH dengan baik untuk MENYAMPAIKAN dan MEWUJUDKAN IDE-IDENYA kepada orang lain, dan anak memiliki RASA PERCAYA DIRI yang baik ketika harus bertemu dengan orang-orang baru atau harus bekerja sama dalam sebuah tim. Istilah yang digunakan oleh "ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia" (Psikologi) : anak memiliki KETRAMPILAN SOSIAL yang baik.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Kembali pada cerita yang mengawali tulisan kali ini. Kenalan saya (orang tua dari yang akan melakukan presentasi dalam rangka seleksi penerimaan karyawan baru di sebuah perusahaan besar di Jakarta) berkata kepada saya, "Masalahnya adalah....anak saya TIDAK PERNAH BERORGANISAI...sehingga kalau memberikan jawaban dalam latihan tanya jawab ini dia KELIHATAN BELUM MATANG...."

Sebagai seorang Praktisi Human Resources, saya mengatakan kepadanya bahwa YANG PENTING adalah sekarang anaknya HARUS BANYAK BERLATIH sebelum melakukan presentasi di depan Tim Penilai perusahaan besar di Jakarta itu.

TERLAMBATKAH ?

Saya mengatakan bahwa adalah LEBIH BAIK kalau PROSES BELAJAR KETRAMPILAN SOSIAL itu dilakukan sejak masih SMP atau bahkan ketika anak masih SD dengan AKTIF BERORGANISASI / BEKERJA DENGAN TIM bersama teman-temananya. Dengan demikian prosesnya lebih ALAMIAH dan anak lebih MATANG / TERASAH KETRAMPILAN SOSIALNYA secara bertahap dan terus-menerus.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Rabu, 17 Juli 2013

Menemani Anak - MENGENALKAN ANAK DENGAN BERBAGAI PROFESI / PEKERJAAN


"Saya dulu ingin kuliah Psikologi, Pak Tinus.... Tetapi tidak jadi.... Karena tidak tahu bisa dipakai kerja buat apa... Akhirnya saya kuliah Ekonomi...," kata seorang karyawan sebuah bank dengan posisi sebagai staf marketing kredit kepada saya di suatu pagi di bulan Juli 2013.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya tidak bermaksud membanding-bandingkan "yang mana yang lebih mudah dapat kerja" : lulusan Psikologi atau lulusan Ekonomi. Sebagai orang yang bekerja sebagai Praktisi Human Resources dalam 11 tahun terakhir dengan latar belakang pendidikan Psikologi, Hukum, dan Manajemen (selain "Engineering"), saya mengatakan bahwa berdasarkan praktek yang ada dalam pekerjaan sehari-hari, mendapatkan atau tidak mendapatkan pekerjaan BUKAN SEMATA-MATA ditentukan oleh "lulusan apa".

Yang akan saya sharing-kan adalah ini : bahwa INFORMASI YANG TIDAK MEMADAI tentang bidang pekerjaan yang akan dimasuki oleh lulusan fakultas tertentu (seperti dalam cerita di atas) semoga TIDAK TERJADI LAGI, setidaknya TIDAK BAGI ANAK KITA (pembaca blog inspirasi pendidikan kreatif HOLIPARENT), karena kita sebagai orang tua sudah secara intens MENEMANI ANAK sehingga anak mendapatkan GAMBARAN YANG JELAS dan tidak ragu-ragu untuk memasuki fakultas apapun pada saat dia kuliah nanti.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Kejadian seperti tersebut pada awal cerita ini disebabkab setidaknya karena 2 hal :
(1) Komunikasi PERTEMANAN antara orang tua dan anak tidak / kurang intens sehingga anak tidak mendapatkan INFORMASI YANG MEMADAI, atau :
(2) Orang tua sudah intens menemani anak tetapi orang tua KURANG MEMILIKI INFORMASI YANG LENGKAP dan RIIL tentang lulusan suatu fakultas dan apa saja bidang pekerjaan yang bisa dimasuki.

Untuk butir (1), pemecahannya memang ada dalam diri orang tua untuk MENEMANI ANAK secara intens.

Untuk butir (2), orang tua dapat memanfaatkan kenalan yang ada (yang relevan pendidikan / pekerjaannya dengan fakultas / profesi yang ditanyakan anak), atau dengan mencari informasi di internet (lewat Google atau yang lain), atau dapat pula mencari INSPIRASI & INFORMASI di blog inspirasi pendidikan kreatif www.holiparent.blogspot.com ini atau dengan mengirimkan PERTANYAAN ke pengelola blog ini di constantinus99@gmail.com.

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dalam rangka memberikan GAMBARAN YANG JELAS & RIIL tentang lulusan fakultas dan bidang pekerjaan yang dapat dimasuki.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Selasa, 16 Juli 2013

Menemani Anak - FOCUSING


Kira-kira seminggu yang lalu seorang teman kuliah saya mendatangi saya dengan wajah yang ceria. Katanya, "Saya diterima bekerja di perusahaan besar itu, Pak Tinus".

Tentu saja, saya ikut gembira mendengarnya. Dia ini seorang wanita muda (usianya 25 tahunan), cerdas, dan penuh semangat. Selama menjalani proses seleksi penerimaan karyawan baru di perusahaan itu, dia selalu menceritakan perkembangannya kepada saya. Sebab, sejak awal mula dia menjalani proses seleksi, dia memang banyak bertanya kepada saya.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tentu saja, bukan karena dia bertanya kepada saya maka dia dapat melalui seleksi penerimaan karyawan baru di perusahaan itu. Dia diterima kerja karena Tuhan mengizinkan demikian. Sedangkan semua persiapan termasuk pertanyaan yang dia tanyakan kepada saya adalah bentuk usaha sebagai wujud dari doa yang dipanjatkan olehnya.

Memang, seperti biasa, pada awalnya wanita muda ini bertanya kepada saya karena dia tahu bahwa saya memiliki latar belakang pendidikan di bidang psikologi. Utamanya, dia bertanya BAGAIMANA CARANYA MENGERJAKAN PSIKOTES.

Dan seperti biasanya juga, SESUAI DENGAN KODE ETIK PSIKOLOGI, saya tidak membocorkan apapun tentang cara mengerjakan soal-soal psikotes. Saya justru mengatakan bahwa YANG TERPENTING ADALAH MENGERJAKAN DENGAN SEBAIK-BAIKNYA dan SESUAI DENGAN DIRI SENDIRI. Ada dua alasan yang membuat hal itu perlu dilakukan. PERTAMA, karena psikotes adalah CERMINAN dari diri kita pada saat kita nantinya betul-betul melaksanakan tugas pekerjaan. Kalau kita tidak mengerjakan sesuai diri kita apa adanya (misalnya, karena sudah mendapat bisikan teman bahwa harus mengerjakan begini atau begitu), maka pada saat bekerja nantinya kita akan tidak betah karena sebenarnya pekerjaan itu tidak cocok dengan diri kita (kepribadian, sikap kerja, minat bakat, kecerdasan kita). KEDUA, ini yang lebih parah, karena kalau kita tidak mengerjakan dengan jujur dan apa adanya diri kita, PSIKOLOGNYA dapat membaca / mengetahui adanya INKONSISTENSI dalam jawaban kita (bahwa pasti ada yang tidak beres / pasti ada yang disembunyikan) sehingga kita malah tidak lulus.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Itu tadi adalah cerita yang melatarbelakangi mengapa wanita muda ini banyak bercerita kepada saya. Tetapi yang mau sharing-kan sebenarnya adalah ini : bahwa dia mengatakan juga kepada saya setiap kali menjalani tes yang bertahap dan berhari-hari itu dia SELALU TENANG. Dia mengatakan kepada saya, " Saya ingat kata-kata Pak Tinus...pokoknya TENANG".

Memang, sebagai orang yang PENUH SEMANGAT, dia ada kecenderungan untuk TERBURU-BURU pada saat melakukan sesuatu. Jadi saya katakan kepadanya, pada saat melakukan sesuatu, lakukan dengan TENANG. Ingatlah untuk SELALU FOKUS dan tetap TENANG. YAKINLAH bahwa semua itu akan dapat dikerjakan dengan BAIK dengan FOKUS dalam ke-TENANG-an.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekedar bernostalgia pada saat saya masih kuliah di Fakultas Psikologi : dalam salah satu mata kuliah dibahas tentang FOCUSING. Ini adalah salah satu teknik supaya seseorang benar-benar melakukan sesuatu SESUAI APA YANG DIHARAPKAN.

Diibaratkan memasuki sebuah kamar gudang di rumah kita di malam hari pada saat lampu sedang padam, kita membawa SENTER dan kita BISA MELIHAT apa yang KITA SOROT dengan lampu senter kita itu. Tentu saja, karena lampu sedang padan sehingga gudang itu keadaannya GELAP GULITA, kita pertama-tama akan MENYOROTKAN lampu senter ke sana ke mari untuk MENCARI-CARI barang di dalam gudang itu. Katakanlah, kita akan mencari album foto lama yang kita simpan di gudang itu. Pertama-tama kita sorotkan senter ke KANAN, dan kita berkata, "Oh... Ini tumpukan majalah lama....". Lalu kita sorotkan senter ke KIRI, dan kita berkata, "Yang ini tumpukan tas-tas lama". Lantas kita sorotkan senter ke ATAS, dan kita berkata "Ini dia, tumpukan album foto lama saya, yang mau saya ambil". Maka kemudian kita TERUS MENYOROTKAN LAMPU SENTER itu ke tumpukan album foto lama itu dan BERKONSENTRASI di situ. Maka yang KITA LIHAT DENGAN JELAS adalah tumpukan album foto lama yang KITA CARI. Sedangkan hal-hal yang lain tadi kembali gelap. Kita memang sedang mencari album foto lama, dan kita dapat MELIHATNYA DENGAN JELAS karena kita FOKUS MENYOROTKAN SENTER kita ke sana. Ini yang disebut dengan FOCUSING : fokus pada apa yang kita inginkan.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekali lagi saya mengatakan bahwa semuanya di dunia ini terjadi atas IZIN TUHAN. Dalam hal ini, FOCUSING adalah suatu upaya nyata bahwa apa yang kita mohon kepada Tuhan dengan doa-doa kita memang sungguh-sungguh kita wujudkan dalam USAHA kita, antara lain dengan FOCUSING.

Semoga selain berguna untuk diri kita sendiri, FOCUSING ini juga dapat kita "ajarkan" kepada anak-anak kita, bahwa untuk mencapai suatu hasil yang baik itu memang perlu FOKUS.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Minggu, 14 Juli 2013

Menemani Anak - MEMBUAT FOTO MIRIP



Bosan dengan rutinitas ? Lakukanlah hal-hal unik dengan keluarga.

Membuat foto yang mirip tokoh, misalnya. Setidaknya, rambut atau ekspresi atau apanya. Tujuannya memang untuk menyegarkan suasana.



Iseng-iseng, saya memotret foto Beethoven dari sebuah buku (saya bahkan sudah lupa judul bukunya), dan menunjukkan foto itu kepada anak saya. Itu sudah lama berlalu, tetapi anak saya maupun saya masih ingat tentang foto Beethoven yang saya buat dengan kamera handphone itu.

Kebetulan, dalam sebuah acara keluarga (keluarga adik istri saya dan keluarga saya), kami memancing di pemancingan di kawasan Jimbaran dekat Bandungan, Kabupaten Semarang. Sambil menunggui anak-anak memancing ikan, istri saya tidur-tiduran di tepi pemancingan.



Nah, pada saat bangun, rambut istri saya acak-acakan. Anak saya langsung meletakkan alat pancingnya, kemudian mengambil kamera dan memotret ibunya. Hasilnya ? Anak saya dan saya sepakat : rambutnya mirip Beethoven !



Setelah itu, dalam WAKTU SENGGANG di rumah, anak saya, istri saya, dan saya mengotak-atk bersama kedua foto itu : istri saya yang rambutnya acak-acakan dan Beethoven. Kedua foto itu dijajarkan, kemudian diedit. Jadilah foto unik hasil karya keluarga : saya membuat reproduksi foto Beethoven, anak saya memotret ibunya dengan rambut mirip Beethoven, dan istri saya yang jadi foto modelnya ! Sedangkan proses editingnya digarap bersama-sama.



Itulah sebuah cerita tentang membuat sebuah kegiatan bersama keluarga. Yang penting ada kebersamaan, dan anak ikut berperan aktif di dalamnya.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto oleh Bernardine Agatha Adi Konstantia dan Constantinus.

Bernardine Agatha Adi Konstantia adalah murid kelas 9E SMP Pangudi Luhur Domenico Savio Semarang.

Tulisan oleh Constantinus, Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Sabtu, 13 Juli 2013

Menemani Anak - MENULIS DI ALAM TERBUKA

Perlu untuk mendukung anak menuangkan IDE-IDE KREATIFNYA PADA SAAT IDE ITU MUNCUL, sehingga langsung menghasilkan tulisan. Pada foto di atas terlihat anak sedang menuliskan ide yang muncul saat itu sambil duduk di dalam mobil yang diparkir di halaman parkir Pasaraya Sri Ratu Jalan Pemuda Semarang. IDE JADINYA DAPAT DITANGKAP SAAT ITU JUGA.

KREATIVITAS ADALAH MODAL DASAR YANG TIDAK BISA DITAWAR. Begitu kata Arswendo Atmowiloto, penulis terkenal itu, yang sudah saya kenal tulisannya dan saya idolakan sejak saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama di tahun 1983-1986.

Proses kreatif itu tidak bisa muncul ketika sedang TEGANG / FORMAL. Saya biasa mengajak anak (dan istri) untuk jalan-jalan dengan sesantai mungkin. Bahkan, dengan hanya sekedar memakai kaos, celana pendek, dan sandal jepit. Dalam KE-SANTAI-AN ini, IDE-IDE KREATIF MUNCUL : anak bisa banyak menghasilkan tulisan, demikian juga saya. Kami menulis IDE-IDE YANG LEWAT itu sambil duduk nongkrong di kafe, atau di tangga mall yang kami kunjungi.

Saya bersyukur bahwa sekalipun saya tidak hidup 100% dari hasil tulisan saya, tetapi MINAT DAN BAKAT MENULIS ini telah banyak mendukung karir saya sebagai konsultan di bidang psikologi-hukum-manajemen-"engineering" sumber daya manusia, setidaknya dalam 11 tahun terakhir (sejak tahun 2002).

Selain itu, saya juga dapat BONUS : punya teman banyak dari blog yang saya tulis ini maupun dari para orang tua serta orang muda yang berdiskusi dengan saya tentang KREATIVITAS.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Pertanyaan yang cukup sering dilontarkan kepada saya adalah : BAGAIMANA MENUMBUHKAN KREATIVITAS ITU ?

Wah, mendapat pertanyaan seperti ini, saya jawab secara lugas : HARUS ADA PENG-KONDISI-AN YANG MENDUKUNG.

Contohnya ?

Pertama, tentu saja orang tua MEMBERIKAN CONTOH kepada anaknya tentang bagaimana menghasilkan suatu KARYA. Atau, setidaknya anak DIKENALKAN secara langsung (dengan orangnya) maupun secara tidak langsung lewat karya-karya kreatif (membaca buku, menonton pentas / pertunjukan, dan sebagainya).

Berjalan-jalan di alam terbuka seringkali memunculkan IDE KREATIF untuk MENULIS dalam diri anak. Supaya ide itu tidak LENYAP, maka harus SEGERA DITANGKAP, yaitu dengan cara MENULISKANNYA saat itu juga, bahkan ketika sedang di RUANG / ALAM TERBUKA. Oleh karena itu, anak perlu didukung (bukannya dilarang !) untuk membawa alat-alat tulisnya (notebook, buku, bolpoin) ketika sedang berjalan-jalan.

Kedua, MENDUKUNG anak untuk melakukan HAL-HAL KREATIF meskipun agak tidak lazim (karena KREATIF itu memang sama dengan TIDAK LAZIM) sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum / melanggar hukum / melanggar norma susila / agama. Jadi, kalau anak mau jalan-jalan ke mall sambil membawa notebook atau buku plus alat tulis untuk menulis cerita pendek atau puisi misalnya, maka orang tua jangan melarang tetapi justru harus mendukung keinginan anak untuk MENULIS DI TEMPAT YANG TIDAK LAZIM sambil sekaligus MENCARI INSPIRASI. Anak didukung untuk menulis puisi tentang awan dan langit di dalam mobil (yang diparkir di tempat parkir) sambil memandangi awan dan langit, dan semacamnya. Dengan begitu KREATIVITAS AKAN MENGALIR secara alamiah.

Mendukung anak untuk membawa alat tulisnya (notebook) ke mana saja, termasuk ketika jalan-jalan ke mall. Sehingga pada saat anak tiba-tiba saja mendapat ide untuk menulis, maka ide itu DAPAT SEGERA dituangkan dalam bentuk tulisan dengan menggunakan notebook yang dibawanya (sambil duduk di dalam mall). KREATIF ITU TIDAK DAPAT DITUNDA-TUNDA !

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph (Mas Tinus "Jurai"). Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

PUTU BUMBUNG



Putu Bumbung. Ya, ini adalah jajanan tradisional yang masih bertahan hingga kini. Setidaknya di Semarang. Setidaknya lagi, di pelataran kompleks pertokoan E-Plaza Semarang.



Nah, sambil bernostalgia mengenang masa kecil ketika masih kanak-kanak membeli Putu Bumbung, sekarang ini saya MEMBAGIKAN ASYIKNYA "menunggui Putu Bumbung dikukus sampai matang" dengan anak saya. Cara mengukus Putu Bumbung yang khas dilakukan dengan selongsong dari  bambu memang menarik perhatian anak.



Harga 10 biji Putu Bumbung adalah Rp 6.000. Relatif murah. Dan anak kita bisa menambah pengetahuan praktis tentang makanan tradisional ini.

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Sisipan PAIMIN 3000 : KONSEKUENSI LOGIS, bukan MUSIBAH....








Kamis, 11 Juli 2013

Menemani Anak - MELIHAT ORANG MEMANEN PADI



Hari Sabtu 6 Juli 2013, saya mengantar adik ipar dan keponakan saya ke Bandara Ahmad Yani Semarang. Mereka akan pulang ke Kupang.



Nah, dalam perjalanan pulang dari Bandara Ahmad Yani, saya (saat itu bersama anak dan istri) melihat PEMANDANGAN YANG MENARIK. Setidaknya, karena ada di Kota Semarang. Apakah itu ?

MEMANEN PADI !!!



Ya ! Di tepi sawah yang ada di dekat Bandara Ahmad Yani, saat itu sedang ada orang memanen padi. Saya kemudian memarkir mobil saya dan mengajak anak dan istri untuk mengamati dari dekat kegiatan panen padi itu.



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Apa yang saya ceritakan ini adalah PENGALAMAN pribadi yang SEDERHANA di mana kita dapat memanfaatkan KESEMPATAN YANG TIDAK TERDUGA untuk mengajak anak belajar DI MANAPUN.

Anak saya yang baru naik kelas III SMP (kelas IX) memang belum pernah melihat dengan mata kepala sendiri SEPERTI APA ORANG MEMANEN PADI.



Semoga cerita kali ini mendorong Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak untuk SIGAP menangkap SETIAP KESEMPATAN bahkan yang TIDAK TERDUGA untuk menemani anak dalam menambah pengetahuannya.



Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.