Senin, 22 Juli 2013

Menemani Anak : NOSTALGIA KODE ETIK MAIN LAYANG-LAYANG




"Layangan," kata saya kepada istri saya, sambil menunjuk setumpuk layang-layang yang dijual di toko milik teman saya di Jalan Abimanyu Gang V Semarang. Dalam Bahasa Jawa, "layang-layang" disebut dengan "layangan".

Lalu, saya jadi ingat tahun 1970-an, ketika saya masih SD... ketika saya masih senang-senangnya bermain layang-layang....

Tahun 1970-an, ketika saya masih SD, ada toko yang sangat terkenal dalam membuat dan menjual layang-layangan serta "benang gelasan" (benang yang sudah diproses "khusus" sehingga menjadi tajam dan siap untuk dipakai bermain layang-layang, termasuk untuk "ampatan" (Bahasa Jawa) yang artinya : saling berusaha memotong benang layang-layang orang lain sampai salah satu (atau kedua) layang-layang.....putus benangnya !). Toko itu terletak di Jalan MT Haryono nomor 530 Semarang. Namanya "Toko 530". Dibaca : "Ma Ga Nol" alias "Lima Tiga Nol". Di zaman saya SD dulu (tahun 1970-an itu), layang-layang dan benang gelasan merek "530" sangat terkenal... sangat bagus kualitasnya (bagi saya dan teman-teman sebaya saat itu). Kebetulan juga, tempo hari, di tahun 2012, saya lewat Jalan MT Haryono Semarang dan sempat melihat bahwa "Toko 530" itu masih ada... dan masih menjual layang-layang dan benang gelasan juga.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Barangkali Ibu-Ibu memang tidak familiar dengan layang-layang, tetapi saya yakin Bapak-Bapak pasti punya kenangan indah tentang bermain layang-layang.


Saya baru-baru ini bercerita kepada anak saya (anak tunggal saya perempuan, tetapi waktu masih SD kelas 3 suka main layang-layang dengan saya dan saudara-saudara sepupunya yang semuanya laki-laki) tentang  KODE ETIK dalam bermain layang-layang. (Sekarang anak saya sudah kelas 9 alias kelas 3 SMP... sudah tidak main layang-layang lagi....)



Saya bercerita kepada anak saya bahwa KODE ETIK itu antara lain :
(1) Kalau layang-layang memakai ekor, maka layang-layang itu tidak boleh "di-ampat" alias tidak boleh diajak bertarung.
(2) Ketika mengejar layang-layang putus (sambil berteriak "WC...WC...WC..." ha...ha...ha...) maka yang berhak mendapat layang-layang putus adalah ANAK YANG PERTAMA BISA MENANGKAP BENANG layang-layang putus itu. Jadi, kalau benangnya sudah ada yang menangkap, maka anak lain yang berhasil mendapatkan (tepatnya : merebut, karena prosesnya memang penuh dengan perebutan benang layang-layang putus) layang-layang putus itu DIANULIR alias batal menjadi  pemilik layang-layang. Bagaimana kalau dia main curang : artinya, dia yang berhasil menangkap layang-layang (bukan benangnya yang menjuntai panjang)  itu diam-diam memutus benangnya ? Wah... resikonya besar.... Bisa-bisa dia DIKEROYOK dan DIPUKULI beramai-ramai karena MELANGGAR KODE ETIK !



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa melakukan PENGEROYOKAN seperti yang saya dan teman-teman lakukan di tahun 1970-an  itu baik. Sekali-kali tidak ! Di zaman sekarang, kalau masih ada pengeroyokan seperti itu, bisa-bisa orang tua TIDAK TERIMA dan berlanjut ke LAPORAN kepada POLISI.

Zaman sudah berubah, dan saya SETUJU bahwa pengeroyokan memang TIDAK BOLEH. Titik.

Tetapi yang mau saya sharing-kan adalah ini : dulu (di tahun 1970-an itu) SANGAT JARANG ada PELANGGARAN KODE ETIK dalam main layang-layang (setidaknya, di kampung saya, di kawasan Kelurahan Wonodri Kecamatan Semarang Selatan (dulu ketika itu masuk Kecamatan Semarang Timur) Kota Semarang). Mengapa ?

Karena semua anak yang main layang-layang tahu bahwa MELANGGAR KODE ETIK akan MENDAPATKAN HUKUMAN dari seluruh anak yang main layang-layang di kawasan itu. Selain dikeroyok, juga TIDAK PUNYA TEMAN LAGI untuk main layang-layang. Semua anak yang main layang-layang MENYADARI dan MERASAKAN MANFAAT NYATA dari Kode Etik itu : UNTUK MENJAGA KEDAMAIAN dan KENYAMANAN dalam bermain layang-layang.


Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekali lagi, zaman sudah berubah. Ada cara bermain yang di zaman saya dulu masih SD (tahun 1970-an) dianggap wajar, kalau dilakukan sekarang ini bisa berurusan dengan Polisi (misalnya : mengeroyok anak yang melanggar Kode Etik dalam bermain layang-layang). Saya setuju bahwa ini memang tidak boleh dilakukan.

Dalam tulisan kali ini, saya selain sekedar mengajak BERNOSTALGIA terutama kepada Bapak-Bapak yang dulu juga biasa bermain layang-layang, juga mengajak kita (para orang tua, baik Ibu-Ibu maupun Bapak-Bapak) untuk MERENUNG tentang NILAI PENTING dari suatu KODE ETIK bahkan sejak masih kanak-kanak yang MENJAMIN KEDAMAIAN dan KENYAMANAN, dan itu bisa DITEGAKKAN karena bagi yang melanggar akan dikenai HUKUMAN YANG NYATA dan sifatnya SEGERA.

Tentu saja, KODE ETIK di masa main layang-layang ketika masih kanak-kanak TIDAK MENJAMIN bahwa ketika seseorang menjadi DEWASA maka dia akan menjadi orang yang selalu menjunjung tinggi Kode Etik yang harus ditaatinya dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ada banyak hal yang membuat orang dewasa menjadi tidak taat pada Kode Etik yang harus ditaatinya.

Ah, saya hanya sekedar mengajak BERNOSTALGIA saja kalau begitu.... Senyampang mengajak merenung bahwa KODE ETIK itu memang perlu... bahkan meskipun hanya untuk sekedar bermain layang-layang....

Selamat menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa"

-----o0o-----

Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.