Selasa, 07 Agustus 2012

MEMUPUK KECERDASAN EMOSIONAL ANAK



Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tidak dapat dipungkiri bahwa tulisan-tulisan saya dalam blog ini seringkali didasarkan pada dua hal ini. 

Pertama, sebagai seorang Ilmuwan Psikologi, saya mempercayai bahwa "hidup itu merupakan suatu kontinum". Artinya, apa yang dipupuk dalam diri anak sejak kecilnya, akan mempengaruhi dia pada saat dewasa nanti (yaitu pada saat dia harus bekerja). 

Kedua, sebagai seorang Praktisi Psikologi Industri, saya melihat ada hal-hal penting dalam dunia kerja yang perlu di-kenal-i para Ibu dan para Bapak, supaya dengan demikian bisa di-kenal-kan kepada anak-anaknya "sedini mungkin, tetapi tentu saja sesuai umur / perkembangan anak". Maksudnya adalah agar anak ketika kelak sudah menjadi dewasa (dan memasuki dunia kerja) sudah memiliki "kebiasaan-kebiasaan" yang sejak kecil "diakrabinya" dan itu memang berguna / sesuai di dunia kerja "yang secara normatif / etika" adalah baik.

-------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Dalam tulisan saya di blog ini sebelumnya, saya sudah mengulas tentang Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual.



Dalam kesempatan ini saya sekali lagi harus mengucapkan terima kasih kepada guru saya, Psikolog Probowatie Tjondronegoro (Psikolog Klinis di Rumah Sakit Elisabeth Semarang dan Dosen Psikologi di Universitas Semarang), yang menambahkan catatan bahwa Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual ini "berayun" alias "bisa naik turun" sepanjang kehidupan seseorang. 

Karena itu, dalam pandangan saya, orang tua perlu menemani dan "mengajarkan / membekali" anak supaya memupuk dan memiliki Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Psiritual yang "tinggi" dan sekaligus supaya anak mampu "mempertahankan" agar Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual-nya tetap "tinggi" (terutama pada saat dia dewasa nanti, yang tidak lagi ditemani orang tuanya).

NB : Tentang Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual, mohon berkenan membacanya di tulisan blog ini edisI Juli 2012.

--------------------

Saya masih (lagi-lagi) menulis tentang Kecerdasan Emosional kali ini, karena baru-baru ini saya menghadapi contoh-contoh nyata di berbagai perusahaan, yang menurut saya ada baiknya saya sharing-kan kepada Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth. Maksud saya, semoga dengan contoh nyata ini, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak semakin bersemangat dalam menemani dan membekali anak-anaknya dengan Kecerdasan Emosional, sehingga anak Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak nanti ketika dewasa dapat menjalani kehidupan di dunia kerja dengan "mulus".

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Saya sependapat bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang sukses, seseorang memerlukan IQ yang baik. 

Semakin tinggi IQ, tentu semakin baik "modal"-nya untuk memimpin. Katakanlah, ketika menghadapi masalah baru, karena IQ-nya baik, maka dia memiliki daya tangkap dan daya analsisis yang cepat dan baik, sehingga bisa mencari dan menemukan alternatif solusi dan bisa memecahkan masalah dengan cepat dan tepat. 

Kalaupun IQ seseorang "sedang-sedang saja", hal ini dapat "ditolong" dengan pendidikan yang tinggi / baik, termasuk kursus / pelatihan, bahkan juga pertemanan / berorganisasi atau membaca buku-buku yang memang menambah luas wawasan dan pengetahuan. Bukankah proses pemecahan masalah itu sebenarnya proses "membuka database pengetahuan" yang sudah ada di dalam diri kita ? 

Jadi, semakin luas wawasan pengetahuannya, semakin "komplit" database-nya untuk mencari dan menemukan alternatif solusi terbaik.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Namun demikian saya juga menemukan fakta ini. Bahwa ada orang yang "pandai" (identik dengan IQ tinggi dan / atau pendidikan tinggi) ternyata tidak sukses menjadi "pemimpin yang baik". Kalau saya ditanya, apa definisi "pemimpin yang sukses", secara ringkas saya jawab "yang punya pengikut setia dan yang menyejahterakan anak buahnya". Intinya, yang peduli kepada orang lain, sehingga orang itu dengan "suka rela" bahkan dengan "bangga" menjadi anak buahnya. (Saya harus mengucapkan terima kasih kepada sahabat baik saya, Advokat Kushandoko Seto, yang telah mengenalkan pemikiran ini kepada saya, bertahun-tahun yang lalu).

Kembali ke orang yang akhir-akhir ini saya temui, yang pandai tetapi tidak banyak orang yang senang menjadi anak buahnya. 

Orang ini lulusan dari sebuah SMA Negeri terkenal di Semarang dari Program Studi IPA (ini merupakan salah satu ukuran bahwa orang ini pandai, bukan ?), dan lulusan dari sebuah Perguruan Tinggi Negeri ternama di Semarang (jurusan IPA lagi, jadi...dia memang pandai, begitu rata-rata orang bilang). Kemudian, dia masih punya gelar Magister di bidang Ilmu Sosial dan terakhir juga punya gelar Sarjana di bidang Ilmu Sosial serta sudah lulus ujian Profesi.  

Saya akui, orang ini pandai.

Masalahnya adalah orang ini juga terkenal memiliki banyak anak buah dengan masa kerja yang singkat. Ada yang dua bulan, kemudian mengundurkan diri, Ada yang cuma beberapa minggu, kemudian mengundurkan diri. Bahkan ada beberapa orang (dalam waktu yang tidak bersamaan) yang "hari ini masuk kerja, besok atau lusa sudah mengundurkan diri".

Padahal, orang ini juga yang memilih sendiri anak buahnya itu. Sampai-sampai dia malu ketika melapor ke saya (sebagai Konsultan / Praktisi Psikologi Industri) bahwa anak buahnya lagi-lagi keluar.

Apa sih masalahnya ?

Sudah jadi rahasia umum, bahwa orang ini suka sekali "menjatuhkan mental lawan bicara". Seorang manajer pernah berkata kepada saya, kalau berbicara dengan orang ini "saya rasanya menjadi bodoh sekali".

Orang ini kalau memberikan Initial Training (Pelatihan Awal) untuk anak buahnya, gayanya seperti Ujian Skripsi. Kalau anak buahnya tidak bisa menjawab dengan baik, "mentalnya dijatuhkan" dengan "kata-kata yang sinis / tajam".

Bahkan ketika berinteraksi dengan saya, orang ini "hanya datang ketika dia ada perlu saja". Tida ada sekedar ramah tamah. Tida ada kata-kata "apa yang bisa saya bantu" darinya.

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Dalam Psikologi, orang ini dikatakan tidak memiliki Kecerdasan Emosional yang baik. Dia tidak mampu memonitor perasaan dan emosi, dalam hal ini perasaan dan emosi orang lain. Memang orang ini tidak emosional / tidak pemarah. Namun Kecerdasan Emosionalnya tidak "baik". Sebab, Kecerdasan Emosional itu menyangkut memonitor perasaan dan emosi baik DIRINYA SENDIRI maupun ORANG LAIN. Dia "tidak pandai" menjaga perasaan orang lain.

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.

Semoga kejadian nyata di atas membuat Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak lebih semangat dalam menemani dan membekali anak-anak untuk "mengenali perasaannya sendiri dan juga perasaan orang lain" dan dengan "modal" ini dapat berpikir dan bertindak dengan tepat.

Memang, kemampuan seperti itu merupakan "gabungan" antara sifat "genetis" alias keturunan, dengan "pengalaman sehari-hari dan juga pendidikan" (orang Psikologi menyebutnya "Proses Belajar Sosial"). Nah, bagaimana bila kita sebagai orang tua juga menyadari / merasakan bahwa "saya sendiri juga mengalami kesulitan / masalah dengan Kecerdasan Emosional" (sehingga kalau anak juga mengalami hal yang sama, ada kemungkinan ini merupakan faktor genetis / keturunan).

Tentu kita tidak boleh menyakahkan "gen" kita. Yang penting adalah bagaimana PROSES BELAJAR SOSIAL itu dapat "memperbaiki" Kecerdasan Emosional anak kita (kalau perlu juga diri kita sendiri sebagai orang tua).



Bukan bermaksud promosi. 

Pada kesempatan ini saya ingin memberikan contoh nyata bahwa apabila anak (serta Ibu dan Bapak) mengalami kesulitan seperti ini, ada baiknya mengikuti kursus Pengembangan Kepribadian yang diadakan oleh teman baik saya yang merupakan pakar di bidang ini. Namanya Ibu Bonita D. Sampurno. Kantornya ada di Jalan Menteri Supeno I no. 28 A Semarang, telepon (024) 8440047. Beliau ini sudah memiliki "jam terbang" memberikan kursus / seminar / training sangat banyak di berbagai perusahaan se-Indonesia.

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat memupuk dan membekali anak dengan Kecerdasan Emosional, sehingga anak kita (kini dan kelak) memiliki "kepribadian" yang "menyenangkan" bagi orang-orang disekitarnya, dan dengan demikian dapat menjadi pemimpin yang berhasil dan bermanfaat untuk dirinya sendiri dan juga untuk banyak orang.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

Foto #1 oleh Bernardine Agatha Adi Konstantia.
Foto #2 oleh Harri Eko Wardhono.
Foto #3 repro dari internet.
Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing dan Praktisi Psikologi Industri serta Praktisi Perbankan.p