Selasa, 31 Juli 2012

OBROLAN "BELAJAR" 10 MENIT SAJA

Setiap pagi, kami lewat Tugu Muda dan Lawang Sewu. Ini adalah bangunan-bangunan bersejarah yang terkenal di Semarang. Dan, sudah berkali-kali menjadi bahan obrolan sepanjang perjalanan kami mengantar anak ke sekolah.
Kadang tentang sinar matahari yang baru saja terbit (dan "pagi ini terlihat lebih indah" dibandingkan hari-hari yang lain).
Lain kali tentang air mancur yang "dikaitkan dengan hukum Archimedes". 
Di hari yang lain lagi, tentang beraneka bentuk daun tanaman yang ada di taman kota di seputar Tugu Muda.

Pokoknya, ada saja yang bisa dijadikan obrolan "belajar" sambil berangkat sekolah (yang berawal dari pengamatan "laboratorium hidup" sehari-hari).

-------------------- 









Perjalanan dari rumah ke sekolah biasanya saya gunakan untuk ngobrol dengan anak. Tentang apa saja. Biasanya tentang berita di koran. Atau berita yang baru saja kami dengar dari radio (kami lebih banyak mendengarkan radio daripada menonton tivi. Alasannya sederhana saja : kalau mendengarkan radio, bisa sambil belajar. Tapi, kami memang tidak pernah berhasil menonton tivi sambil belajar....)

Beberapa artikel yang saya buat (yang kemudian dimuat di Harian Suara Merdeka, di Majalah Psikologi Plus, dan sebagainya) juga merupakan hasil ngobrol dengan anak sepanjang perjalanan "berangkat sekolah" seperti ini.

--------------------

Menemani anak belajar sambil ngobrol di sepanjang perjalanan seperti ini memang bukan merupakan proses belajar yang terstruktur. Maksudnya begini : tiba-tiba saja anak saya melihat bahwa sinar matahari pagi ini indah sekali. Lalu, obrolan "belajar" membahas tentang spektrum sinar matahari.

Atau, di hari yang lain anak saya tertarik dengan mobil polisi yang berjalan sambil membunyikan sirene. Maka, obrolan "belajar" pagi itu adalah tentang gelombang bunyi dan bentuk "gelombang longitudinal dan gelombang transversal".

Bahkan, pernah pula anak membahas tentang gelombang radio, maka obrolan "belajar" akan membahas tentang "Frequency Modulation" alias "FM" dan "Amplitudo Modulation" alias AM. Tentang gelombang radio  "Medium Wave" alias gelombang radio "MW" dan gelombang radio "Short Waves" alias gelombang radio "SW".

Dan, di hari yang lain lagi, kami bisa membahas tentang lalu lintas yang macet di sekitar Pasar  Karangayu karena ada oknum penjual yang tidak tertib menggelar dagangannya. Maka, obrolan "belajar" dengan anak pun membahas tentang : pentingnya penerapan hukum, pentingnya penegakan hukum, bahwa hukum juga harus mengandung "hukuman" dan "bagaimana caranya" menegakkan hukum itu dalam praktek sehari-hari. Artinya, hukum yang tidak disertai dengan "ancaman hukuman" dan bagaimana "caranya" menegakkan hukum itu (untuk menjatuhkan "hukuman" yang di-ancam-kan) adalah hukum yang tidak akan ditaati karena "yang melanggar tidak diberi hukuman apa-apa".

---------------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekalipun obrolan "belajar" seperti ini adalah "belajar yang tidak terstruktur" (= tidak ada kurikulumnya), namun saya melihat bahwa ini tetap ada gunanya : anak jadi "peka" pada permasalahan yang ada di sekitarnya. Istilah saya, anak bisa belajar dari "laboratorium hidup" yang dialaminya sehari-hari (dengan ditemani oleh orang tuanya).

---------------------------

Selamat menemani anak.

Selamat ngobrol dengan anak sambil menemani anak "belajar" dari "laboratorium hidup" sepanjang perjalanan ke sekolah (yang untuk kami : cuma 10 - 15 menit saja).

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

  • Foto oleh Susana Adi Astuti, Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Magister Manajemen di bidang Marketing. Praktisi perbankan selama lebih dari 16 tahun.
  • Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing dan praktisi perbankan & psikologi industri. 


Senin, 30 Juli 2012

TETAP MENEMANI ANAK MESKI KEHABISAN IDE

Anak seringkali mencoba untuk berkreasi.
Misalnya, dengan menyusun kertas seperti ini.
 Kertas-kertas itu disusun rapi, kemudian dia foto dengan kamera digital
 (setidaknya, anak sudah diajari supaya dapat menggunakan
dengan benar / tidak rusak).

Kalau orang tua ingin bisa ngobrol enak dengan anak sebagai teman,
maka orang tua harus bisa menikmati kreasi dan kesukaan anak seperti ini.


--------------------

Seorang teman bertanya kepada saya, apakah saya tidak pernah kehabisan ide untuk menulis di blog ini.

"Tentu pernah," jawab saya. "Dan bukan hanya sekali - dua kali".

"Lalu ?" tanyanya lagi.

"Saya berdoa, mohon ilham. Dan tetap menulis," jawab saya.

--------------------

Saya sebenarnya bertanya-tanya di dalam hati : apa yang membuat teman ini bertanya seperti itu ?

Tetapi, itu akhirnya terjawab juga.

"Kalau dekat anak, saya sering bingung harus ngobrol tentang apa," kata teman ini kemudian. “Saya kehabisan ide”.

"Ngobrol saja tentang Kupu Biru-nya Slank atau Tak Sempurna-nya Bondan Prakoso," jawab saya.

Dan, sudah saya duga, teman saya bertanya, "Apa itu ?"

"Judul lagu," kata saya. “Lagu zaman sekarang”.

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tentu saja, saya yang berusia 42 tahun sebenarnya lebih akrab dengan lagu-lagunya The Cranberries seperti Animal Instink. Atau lagunya Base Jam yang berjudul Bermimpi.

Waktu Base Jam sedang terkenal dengan lagu itu, saya masih kerja di Bank BNI Semarang. Pacar saya (sekarang jadi istri saya) kerja di Bank Eksekutif (sekarang jadi Bank Pundi) di Jakarta. Setiap Jumat malam saya naik kereta api dari Stasiun Tawang (dekat kantor di mana saya bekerja) ditemani lagu-lagu Base Jam. Waktu itu, bentuknya masih kaset. Diputar pakai tape kecil. Namanya Walkman, buatan Sony.

--------------------

Bukan berarti di umur 40-an saya masih suka dengan musik nge-rock. Tapi ketika anak saya suka (dan minta dibelikan) album lagunya Superman is Dead, saya bukan hanya membelikan. Tetapi juga mendengarkannya, bersama anak saya. Kemudian, saya bisa ngobrol tenyang Superman is Dead. Dan juga tentang banyak hal lainnya.

Intinya, anak merasa ditemani. Kita menyesuaikan diri untuk menikmati apa yang dinikmati anak kita. Dari situ, tercipta suasana yang mendukung anak kita untuk ngobrol-ngobrol enak dengan kita.

--------------------

"Jadi, saya mesti ikut mendengarkan lagu kesukaan anak ?" tanya teman saya pada akhirnya.

"Bukan begitu. Tapi kita harus selalu setia menemani anak. Bahkan ketika kehabisan ide mau ngobrol tentang apa. Yang penting :  berdoa. Sambil lihat ini itu. Dari situ, akan muncul proses ngobrol enak dengan anak," kata saya.

Teman saya mengangguk-anggukkan kepala.

Semoga ada bahan obrolan atau tidak, dia tetap setia menemani anak. Dan dari situ, justru akan muncul bahan obrolan.

-------------------

Selamat menemani anak.

Bahkan, ketika sedang tidak yakin harus ngobrol tentang apa dengan anak. Sebab, obrolan enak itu nanti akan muncul dengan sendirinya. Tentu, asalkan kita selalu terbuka untuk menikmati hal-hal baru. Hal-hal yang sedang dinikmati anak kita.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

·         Foto oleh B. Agatha Adi K. (saat itu usia 8 tahun).

·  Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-13D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing dan praktisi (Komisaris Independen) perusahaan perbankan.


Minggu, 29 Juli 2012

UANG TIDAK BISA (MENGGANTIKAN ORANG TUA) UNTUK MENEMANI ANAK

Bahkan sandal pun ada pasangannya. 
Kalau pun dipakai berjalan, baiknya selalu berdampingan.....

--------------------


Hari ini, 29 Juli, adalah Hari Ulang Tahun istri saya. Karena itu,  Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth., ijinkanlah saya untuk mengucapkan "Selamat Ulang Tahun" kepada istri saya. Kiranya dia selalu dalam berkat dan lindungan Tuhan. Amin.

--------------------

Suatu ketika, saya ke Matahari Simpang Lima di Semarang. (Matahari adalah nama super market-nya). Saya ke lantai 5 yang merupakan pusat penjualan komputer.

Tentu saja, di lantai 5 ada banyak anak-anak muda berlalu-lalang. Ada yang sekedar melihat-lihat komputer. Ada yang membeli komputer baru. Yang membetulkan printer yang rusak atau sekedar memasang stiker pelindung notebook juga ada.

Seperti biasa, gaya anak-anak muda ini khas : gaya anak-anak muda yang "melek" Teknologi Informasi / komputer.

Tentu saja, ada juga orang-orang "pasca anak muda" seperti saya ini. Tetapi memang kalah banyak dibandingkan dengan anak-anak muda itu.

--------------------

Nah, pada saat saya mau masuk ke lift (dan turun ke lantai 1) setelah puas jalan-jalan sekedar melihat-lihat komputer, pandangan mata saya tertuju pada seorang bapak dan seorang anak perempuannya.

Anak perempuan itu masih usia SD.

Adapun bapak itu, dari pembicaraan, pakaian, dan bahasa tubuh terlihat sebagai karyawan / pekerja "biasa saja". Maksud saya, beliau ini "bukan boss", "bukan manajer", atau sejenisnya.

Tentu saja, saya bisa saja salah menilai orang. Tetapi pengalaman saya bekerja di bidang marketing dan melayani konsumen selama 23 tahun (termasuk 10 tahun terakhir menjadi konsultan dan praktisi legal dan psikologi industri), membuat saya "terbiasa" menilai orang. Dan, cenderung tepat.

--------------------

Bapak yang sederhana ini tampak begitu sayang kepada anaknya. Keduanya melihat-lihat notebook di salah satu toko di sana. Menanyakan harga. Kemudian bapak dan anak itu agak menjauh dari toko itu. Mereka tampak merundingkan sesuatu.

Tentu saja, berunding tentang pembelian notebook untuk sang anak.

--------------------

Tiba-tiba saja merasa terharu. Dalam keterbatasan keuangan, bapak ini setia menemani anaknya melihat-lihat dan mau membeli notebook. Dan sang anak juga tampak menghargai orang tuanya.

Jujur saja, saya sudah bertemu banyak orang (entah itu bapaknya, entah itu ibunya, entah itu anaknya) yang berkelimpahan dalam hal keuangan. Boleh dibilang, mereka ini punya banyak komputer / notebook, yang bagi mereka bukan merupakan barang mahal. Kalau beli, tidak usah berpikir panjang lebar.

Tetapi, karena kelimpahan uang (dan juga fasilitas itu) saya tahu betul justru bisa membuat hubungan orang tua dengan  anak jadi tidak dekat. Orang tua "terpaksa" sibuk bekerja (untuk mencari uang), sehingga kekurangan waktu untu "menemani" anaknya. Bahkan setelah jam kerja sekalipun. Bahkan di hari libur kerja, orang tua juga ke-capai-an sehingga merasa “butuh tidur / istirahat” sehingga tidak bisa menemani anaknya jalan-jalan. (Saya sudah bertemu orang tua – orang tua dengan tipe seperti ini).

Ini berbeda sekali dengan yang saya lihat tentang "bapak dan anak yang dalam kesederhanaanya meluangkan waktu bersama", dalam hal ini pergi ke toko komputer.

--------------------

Saya tiba-tiba merasa seperti diingatkan. Untuk lebih banyak meluangkan waktu bagi anak. Untuk lebih banyak memperhatikan dan membantu anak. Jangan sampai segala kelimpahan (uang dan fasilitas) yang ada justru menjauhkan saya dari anak saya, dengan berbagai alasan klasik-nya : banyak pekerjaan, mengejar promosi jabatan, dan sebagainya.

Saya jadi merasa masih harus belajar dalam hal menemani anak.

Makanya, ketika anak saya (setelah itu) bertanya kepada saya tentang PR (pekerjaan rumah), saya tiba-tiba saja menjadi lebih bersemangat untuk memberikan penjelasan / menemaninya belajar.

Artinya, saya memang sudah terinspirasi oleh "pasangan bapak dan anak yang sederhana"  di toko komputer itu.

--------------------

Selamat menemani anak.

Kita sebagai orang tua memang yang seharusnya menemani anak. Bahkan dalam keterbatasan (uang maupun waktu) kita. Pun, kalau kita punya uang, uang (yang banyak), uang itu tidak bisa mewakili kehadiran kita dalam menemani anak.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

  • Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph, Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial. Magister Manajemen di bidang Marketing.

Sabtu, 28 Juli 2012

MENJAGA KOSA KATA ANAK


Dalam 10 tahun terakhir ini saya bekerja "mendampingi" beberapa perusahaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta sebagai konsultan dan praktisi di bidang legal, marketing communications (marcom), dan psikologi industri. 

Nah, pada suatu hari, di salah satu perusahaan itu terjadi "kegemparan". 

"Kegemparan" ini tidak ada kaitannya dengan bidang legal yang saya tangani. Juga tidak dengan bidang marketing communications. Dengan psikologi industri juga kurang nyambung. 

Tetapi kalau dengan psikologi, memang ada kaitannya. Terutama pendidikan anak.

--------------------

Zaman sekarang, handphone sudah jadi "barang umum". Artinya, banyak orang memilikinya. 

Nah, di beberapa jenis / merek handphone, memang ada fasilitas untuk membentuk "group". Para pengguna handphone jenis / merek tertentu  sudah biasa membentuk / mengikuti beberapa "group". Maksudnya supaya praktis : kalau dia kirim suatu pesan ke "group" ini, maka seluruh kenalannya se-"group" pasti akan menerima pesan itu. Jadi, memang praktis.

Atau, bisa jadi juga : runyam !

--------------------

Salah seorang Bapak yang memiliki jabatan sebagai Direktur Utama di sebuah perusahaan perbankan yang menceritakan "kegemparan" (yang saya sebutkan di awal tulisan ini) kepada saya. "Kegemparan" yang terjadi pada "group handphone"-nya. Saya sendiri tidak tahu, karena saya tidak termasuk dalam "group" ini.

Jadi, menurut cerita Sang Bapak ini, suatu pagi (pagi-pagi sekali, sebelum jam kantor, dan juga sebelum jam anak-anak berangkat sekolah pagi) masuk pesan ke "group handphone"-nya, satu pesan yang aneh sekaligus kasar / tidak senonoh.

Pesan ini dikirim oleh seorang Ibu yang kebetulan menjadi Manajer di salah satu perusahaan.

Namanya juga "pesan masuk ke group handphone", maka seluruh "anggota group"  itu menerimanya.

Pesan itu bunyinya, "A*U" atau "AS*" dan seterusnya. Diulang-ulang. (Mohon maaf, terpaksa saya sensor).

Tentu saja, para penerima pesan dalam "group" ini tidak menjawab apa-apa. Karena merasa aneh. Dan juga bingung.

--------------------

Keanehan dan kebingungan ini akhirnya terjawab siang harinya.  

Sang Ibu pemilik handphone itu mengirim pesan ke "group". Kali ini pesannya "normal". Intinya, beliau minta maaf atas pesan yang dikirim ke "group" tadi pagi. Sebab pesan itu dikirim tanpa sepengetahuannya, oleh anaknya yang baru duduk di kelas 3 SD, sebelum berangkat sekolah.

Beliau berkata bahwa anaknya diam-diam mengambil dan menggunakan handphone milik beliau.

Wah ! 

--------------------

Tentu saja, semua teman se-"group" menjawab, "Tidak apa-apa".

Tetapi sesungguhnya, banyak di antara mereka yang masih bertanya-tanya (termasuk Bapak yang menceritakan hal ini kepada saya), "Kok bisa-bisanya anak mempunyai kosa kata kasar seperti itu. Belajar dari mana, ya ?"

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Tentu saja, pesan "tidak senonoh" seperti itu juga bisa saja dikirim oleh anak lewat handphone Sang Ayah. Tidak hanya dari handphone Sang Ibu.

Jadi, renungan yang pantas kita lakukan di sini adalah "bukan tentang handphone Ayah atau Ibu yang digunakan anak" untuk mengirim pesan tidak senonoh, tetapi :

Pertama, kita memang harus hati-hati ketika berbicara di depan anak (atau ketika dapat didengar anak). Mungkin saat itu kita sedang mengemudikan kendaraan, dan tiba-tiba didahului oleh kendaraan lain. Kita jadi jengkel. Maka keluarlah kosa kata "A*U" tadi. Ini, (dan juga kosa kata yang sama / sejenis) akan diingat oleh anak. Dan, bisa jadi suatu ketika anak akan menggunakannya. Atau menuliskannya.

Kedua, selain menjaga omongan kita (selaku Ayah dan Ibu), kita juga harus mengawasi orang-orang yang ada di sekitar anak kita. Kalau omongannya cenderung kasar / tidak senonoh, memang anak harus kita jauhkan dari mereka. Karena anak (kecil) belum bisa membedakan kata-kata yang sopan dan tidak sopan. Anak (kecil) baru bisa menirukan. Bahkan, artinya pun (mungkin) mereka tidak tahu.
Adik ipar saya pernah memberhentikan pembantu rumah tangganya. Bukan karena pembantu ini malas bekerja. Tetapi karena pembantu ini kasar bicaranya. Dan, kata-kata kasar ini ada gejala mulai menular ke anak. Karena pembantu rumah tangga ini sudah diberitahu, ternyata tidak juga bisa berubah, maka terpaksa diberhentikan.

Ketiga, kita memang harus mengawasi barang-barang kita, supaya tidak disalahgunakan anak. Contohnya handphone. Boleh-boleh saja kita mengajari anak menggunakan / bermain dengan handphone kita. Tetapi kita memang harus bisa mengawasi. Atau, menyimpannya baik-baik. Ada baiknya anak tidak kita biarkan bermain dengan handphone tanpa pengawasan kita. Selain handphone  bisa rusak secara tidak sengaja, juga mengantisipasi keisengan anak yang tidak kita inginkan. Dalam cerita nyata di atas, anak menggunakan handphone orang tuanya untuk menulis kata-kata kasar / tidak senonoh. Selain itu, saya juga punya kenalan (dalam hal ini Bapak-Bapak) yang biasa menyimpan foto atau film porno dalam handphone-nya. Saya tidak mengatakan hal ini boleh atau tidak boleh. Tetapi yang jelas, hal itu melanggar nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Ancaman pidana penjara 6 tahun dan denda Rp 1 milyar. Selain, tentu saja, berbahaya kalau sampai "terlihat" oleh anak. Dalam tulisan ini, kita harus merenung, apakah alat-alat canggih ini memang sudah kita gunakan dengan benar, termasuk tidak menyimpan gambar / film porno. Sebab, kalau suatu ketika anak kita diam-diam "membukanya" (dan anak menemukan gambar / film porno), bisa jadi runyam . Selain moral anak jadi rusak, citra kita sebagai orang tua di mata anak juga menjadi jelek, sehingga nasehat-nasehat yang kita berikan akan sulit diterima oleh anak.

--------------------

Selamat menemani anak.

Selamat menemani anak dengan penuh kasih dan sopan santun.
Selamat memberikan contoh berkata-kata yang baik kepada anak. 
Selamat menjaga anak supaya jauh dari orang-orang yang berkata-kata tidak senonoh.
Selamat mengisi dan menggunakan handphone kita (juga tablet, notebook, komputer, dan sejenisnya) dengan hal-hal yang sopan dan baik-baik saja.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa". 

  

-----o0o-----
  • Foto dan disain foto oleh B. Agatha Adi K, 2007 (saat itu usia 8 tahun).
  • Tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph, Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial, Magister Manajemen di bidang Marketing.










Jumat, 27 Juli 2012

KECERDASAN SPIRITUAL & KECERDASAN EMOSIONAL


Suatu sore, saya menerima SMS dari dua orang Psikolog. Saya senang, karena tulisan yang sederhana ini ternyata dibaca oleh para senior saya di dunia Psikologi. 

Terima kasih kepada Psikolog Rini Sugiarti yang telah mampir ke blog ini. Beliau ini Dosen Wali saya ketika saya kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Semarang. 

Tentang beliau, saya selalu punya kenangan tersendiri. Sebagai mahasiswa, umur saya di atas beliau. (Kami sama-sama lulus dari SMA Kolese Loyola Semarang. Tetapi ketika beliau belajar di SMA ini, saya sudah lulus. Jadi, saya memang mahasiswa tua usia dalam arti yang sebenarnya). 

Dulu, terutama pada saat awal-awal kuliah di Fakultas Psikologi, banyak yang mengira saya adalah dosennya. Padahal, saya adalah mahasiswa. :-) Harap maklum, karena saya baru mulai kuliah Psikologi di umur 37 tahun. 

--------------------

Satu lagi yang mengirim saya SMS sore ini (selain Psikolog Rini), adalah Psikolog Probowatie Tjondronegoro. Beliau ini juga dosen saya ketika saya kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Semarang.

Kebetulan, keluarga saya adalah langganan Rumah Sakit Elisabeth Semarang (dalam arti : kalau terpaksa harus rawat inap, ya memilih dirawat inap di rumah sakit ini). Dan Psikolog Probowatie adalah psikolog klinis sekaligus Humas di rumah sakit ini. Jadi, saya memang sering ngobrol dengan beliau.

Tentang beliau ini, saya senang sekali ketika mengetahui bahwa beliau adalah Insinyur Peternakan lulusan Universitas Gadjah Mada. Kenapa ? Hanya gara-gara saya adalah Insinyur Perikanan lulusan Universitas Diponegoro (waktu saya kuliah, saya juga masuk Fakultas Peternakan, meskipun Jurusannya Perikanan) ! 

Saya merasa punya teman senasib : sama-sama Insinyur, kemudian sama-sama belajar Psikologi. Apalagi beliau juga cerita bahwa kuliah Psikologi ketika sudah berumur. Wah, lagi-lagi saya merasa punya teman senasib. 

Semoga saya bisa meniru beliau untuk membantu banyak orang dengan ilmu yang dikuasai.

Terima kasih kepada Psikolog Probowatie karena setia mampir di blog sederhana ini. Juga setia kirim SMS ke saya. Saya jadi merasa berarti.....

Dan, tulisan kali ini juga bersumber dari usulan beliau.....

-------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Kalau saya bilang bahwa IQ itu tidak penting, berarti saya sudah berbohong. Karena memang saya tidak bisa memungkiri fakta bahwa saya (menurut tes IQ) memang memiliki IQ yang di atas rata-rata. Dan, saya memang mendapatkan banyak keuntungan selama sekolah / kuliah maupun bekerja karena ini.

Tetapi, jujur saja, karir saya pernah ambruk karena waktu itu Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Emosional saya rendah.    

Di lain pihak, saya (dalam kehidupan saya sebagai marketing sejak tahun 1989, dan terutama sebagai konsultan dan praktisi Human Resources dalam 10 tahun terakhir) melihat bahwa ada orang dengan IQ biasa-biasa saja (kalimat ini sebenarnya kurang valid karena tidak dilakukan pengukuran IQ kepada yang bersangkutan) bisa sukses dalam pekerjaannya karena orang tersebut memiliki Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Emosional yang baik. 

Jadi, saya memang belajar untuk bisa punya Kecerdasan Spiritual dan Kecerdasan Emosional yang baik juga. :-)

--------------------

Gambar di atas adalah foto dari salah satu buku saya. (Kebetulan, saya punya banyak sekali koleksi buku dengan judul yang ada kata "Psikologi Umum"-nya, yang ditulis oleh para Psikolog yang berbeda-beda, dengan penekanan yang berbeda-beda pula).

Doktor Sarlito Wirawan Sarwono adalah Psikolog Sosial di Universitas Indonesia. Hampir tiap minggu saya membaca tulisan beliau di harian Sindo (Seputar Indonesia). 

Tetapi bukan karena itu buku tulisan beliau ini saya tampilkan gambarnya di blog ini.
Tetapi karena ini : Buku ini adalah buku yang ditulis ulang oleh beliau dan diterbitkan pada tahun 2010. Padahal, buku asli sudah diterbitkan tahun 1974.

Apa yang menjadikan beliau rela bersusah payah menulis ulang buku ini ?

Karena Doktor Sarlito Wirawan mengatakan (dalam kata pengantar buku ini) bahwa, "Sejak itu, buku tersebut mengalami cetak ulang entah berapa kali dan sampai beberapa waktu lalu, saya masih mendengar bahwa buku ini masih dibaca oleh mahasiswa zaman sekarang. Kenyataan ini cukup mencemaskan buat saya, karena dalam waktu lebih dari 30 tahun, dunia ilmu psikologi (baik teori maupun terapannya) sudah banyak sekali berubah. Sebagai contoh, ketika buku 'Pengantar Umum Psikologi' terbit pertama kali di tahun 1974, dunia psikologi masih percaya bahwa IQ (angka yang menunjukkan kecerdasan umum) sangat besar pengaruhnya. Seakan-akan, angka IQ yang tinggi (di atas 120) adalah angka yang sakti (jaminan kesuksesan di masa depan), sedangkan angka IQ yang rendah (100 ke bawah) seakan-akan merupakan vonis mati (tidak ada lagi harapan masa depan). Sekarang, dengan berkembangnya teori 'multiple intelligence' dan 'emotional intelligence', teori IQ itu sudah kuno dan tidak dipakai lagi".

--------------------

Kecerdasan Emosional  adalah kemampuan untuk mengontrol emosi. 

Doktor Howard Gardner mengatakan hal-hal pokok dalam Kecerdasan Emosional adalah : 
- mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri
- memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain
- mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain
- dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri 

--------------------

Kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan jiwa yang membantu seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh. Caranya adalah dengan menciptakan kemungkinan untuk  menerapkan nilai-nilai positif. 

Orang dengan Kecerdasan Spiritual yang baik akan :
- mampu bersikap fleksibel / mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan
- punya tingkat kesadaran yang tinggi
- mampu menghadapi penderitaan
- mampu mengambil pelajaran dari kegagalan
- hidup sesuai dengan visi dan misi yang dicanangkannya
- mampu melihat keterkaitan berbagai hal dalam hidup ini
- mandiri
- mampu memaknai hidup ini

--------------------

Sebenarnya, ibu dan ayah saya sejak dulu juga sudah selalu memberikan nasehat kepada saya, yang kalau saya renungkan sekarang ini, isinya adalah Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual.

Tetapi memang saya saja yang bengal, sehingga hanya mengandalkan IQ (yang kebetulan memang tinggi), dan akhirnya memang bisa sukses, tetapi sempat jatuh terpuruk. (Ini kejadian yang saya alami sebelum saya kuliah Psikologi, dan waktu itu memang belum populer istilah Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual. Plus saya memang bengal waktu itu : melupakan nasehat orang tua yang isinya juga Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual).

--------------------

Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak Yth.,

Sekarang, saya sedang belajar terus untuk hidup dengan Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual yang baik.

Saya juga sudah bertemu banyak orang yang biasa-biasa saja (sebatas lulusan SMA, bahkan hanya lulus SMP atau SD) dan tidak pintar Matematika, tetapi bisa hidup layak bahkan sukses karena punya Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual yang baik.

Jadi, selamat menemani anak.

Entah anak kita punya IQ tinggi atau rata-rata atau di bawah rata-rata, mari kita temani anak kita supaya punya Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual yang baik.

"Menemani Anak = Mencerdaskan Bangsa".

-----o0o-----

  • Foto dan tulisan oleh Constantinus Johanna Joseph. Ilmuwan Psikologi anggota Himpunan Psikologi Indonesia nomor 03-12D-0922. Sarjana di bidang Ilmu Alam dan Sarjana di bidang Ilmu Sosial.
  • Definisi tentang Kecerdasan Emosional dan Kecerdasan Spiritual diambil dari Wikipedia.